Mazmur 32: 8
Aku hendak mengajar dan menunjukkan kepadamu jalan yang harus kautempuh, Aku
hendak memberi nasihat, mata-Ku tertuju kepadamu
Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 83; Lukas 4; Yeremia 14-15
“Belok kanan dalam jarak 500 kaki.”
“Hitung ulang.”
“Tujuanmu ada di sebelah kanan.”
Aku menggunakan perangkat GPS Sebagai peta, terutama saat bepergian ke tempat baru. Setelah aku mengetik alamatnya, terdengar suara wanita memberikan arahan.
Tentunya dia pertama-tama membimbingku menyusuri jalan masuk, kemudian melewati lingkunganku, kemudian ke luar kota. Dia mulai satu per satu.
Aku secara membabi buta percaya pada navigator digital untuk membantuku mencapai tujuan dengan aman dan tepat wakt.
Kenapa aku gak bisa seperti itu dengan Tuhan?
Aku mau Tuhan menunjukkan kepadaku rencana-rencana yang sudah dipetakannya untukku lebih dulu sebelum aku mendukung mobil keluar dari jalan masuk dan melanjutkan petualangan yang disebut kehidupan ini.
Harus aku akui, kadang aku lebih percaya GPS daripada percaya pada rencana Tuhan.
Aku gak pernah ragu atau mempertanyakan navigator digital itu, tapi aku melakukannya kepada Tuhan. Aku tak perlu tahu dari jalan mana GPS akan membawaku, tapi aku ingin tahu semua belokan yang Tuhan buat untuk hidupku. Bernegosiasi dengan GPS sama sekali hal yang jarang buatku. Tapi bernegosiasi dengan Tuhan ya, sering kali!
“Aku hendak mengajar dan menunjukkan kepadamu jalan yang harus kautempuh, Aku hendak memberi nasihat, mata-Ku tertuju kepadamu.” (Mazmur 32: 8)
Kita bisa membuat segudang rencana tapi rencana Tuhanlah yang akan jadi (Amsal 19: 21).
Aku membaca ayat-ayat ini dan baru mengerti, cara, rencana dan pemikiran Tuhan bagiku jauh lebih baik dari impianku sendiri.
Kadang otakku memang ingin sekali mengintip rencana Tuhan. Aku pengen tahu setiap detail yang Dia buat untuk hidupku, terutama di bagian ending-nya.
Di Alkitab, kita belajar tentang dua tokoh besar yaitu Musa dan Abraham. Tuhan memberi tugas kepada masing-masing, tapi reaksi mereka benar-benar berbeda.
Musa sendiri, waktu diminta untuk kembali ke Mesir dan membebaskan orang Israel. Tapi Musa berkata kalau dia gak cakap bicara dan meminta Tuhan untuk mengirim orang lain (Keluaran 4: 1-17). Di sisi lain, Abraham meresponi panggilan Tuhan dengan tanpa ragu mengorbankan putranya, Ishak sebagai korban persembahan kepada Tuhan (Kejadian 22).
Musa mencoba bernegosiasi dengan Tuhan, tapi Abraham tidak.
Aku persis seperti Musa, meminta supaya mengirimkan orang lain kecuali jika Tuhan mau menunjukkan kepadaku hambatan yang akan aku hadapi dan berjanji akan ada akhir yang bahagia di balik itu.
Aku lebih seperti Abraham. Hanya mendengar dan taat.
Apa yang bisa kita pelajari dari kedua tokoh ini? Percaya pada waktunya Tuhan. Percaya pada rencana Tuhan. Waktu kita mendengar panggilan dari Tuhan untuk melakukan sesuatu, melangkahlah dengan iman dan taatlah.
Percayalah kalau Tuhan akan menyertai kita setiap langkah. Kita gak pernah tahu setiap belokan dan belokan di jalan, cukup percaya kepada-Nya sebagai Juruslamat dan pembimbing.
Tuhan juga mengajarkan kita kalau kita tak boleh memberi-beri alasan kalau Tuhan melakukan kesalahan waktu memilih kita. Ingat, Tuhan memakai orang biasa untuk melakukan hal-hal luar biasa. Dia memilih kita karena karunia dan hasrat kita. Dia mau hal-hal itu digunakan untuk kerajaan-Nya, gak dikunci di dalam ruang tamu yang nyaman.
Dengarlah. Lompatilah selangkah demi selangkah. Percaya sepenuhnya pada-Nya. Suara-Nya yang penuh kasih akan membimbing kita melalui lalu lintas, melewati jembatan, dan di setiap belokan dalam perjalanan inilah kita menyebutnya Ketaatan.
Hak cipta Karen Tyner, digunakan dengan ijin Cbn.com