Daniel 9: 9
Pada Tuhan, Allah kami,
ada kesayangan dan keampunan, walaupun kami telah memberontak terhadap Dia…
Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 17; Ibrani 11; Ayub 11-12
Waktu kecil aku pernah berpikir ayah adalah orang yang paling
keren. Dia bekerja di bisnis asuransi, tapi tak pernah bertemu orang asing. Dia
adalah orang yang sangat populer. Dia juga punya banyak lelucon klise dan suka menghabiskan waktu dengan keluarganya.
Dia paling suka berteriak memanggil keempat anak-anaknya, ‘Ayo
cepat beranjak dari tempat tidur, karean aku baru saja melihat seekor gajah melarikan
diri di halaman belakang rumah kita.’ Saat kamu sudah beranjak dewasa, dia mulai
mengubah leluconnya. Biasanya dia akan berkata, ‘Oh, lihat salju sudah turun.’ Padahal
kenyataannya salju sama sekali tak pernah turun di California Utara. Tapi dia
tahu itu adalah cara terbaik untuk mengeluarkan kami dari tempat tidur selama
musim dingin. Saat musim salju tiba, dia akan keluar dengan celana pendek Bermuda-nya,
bermain-main dengan bola salju untuk mengajak kami keluar dari rumah. Ayah hampir tak pernah tumbuh lebih dewasa di mata kami.
Dia bisa memasak dan menyiapkan makanan gourmet sebelum aksi munculnya
pria di dapur dinilai sebagai hal yang mengesankan. Dia memang mengambil
jurusan administrasi hotel di kampusnya dan karena itulah dia harus belajar memasak. Pintu dapur pun terbuka lebar untuk mengasah kreativitasnya.
Kami merasa bangga saat dia tampil di ‘Cook of the Week’ di
Palo Alto Times. Halaman koran itupun bahkan berisi penuh dengan resep masakan ayah,
seperti Swedish Meatballs dan Chicken Curry. Aku masih ingat kenangan tentang
dia yang akan selalu bangun pagi sebelum yang lain, menyeduh kopi dan membaca koran.
Aku yakin dia menikmati ketenangan beberapa menit di rumah mungil kami. Saat kami
anak-anaknya bangun, kami akan menikmati hidangan pancake coklat atau telur dan
daging asap yang digoreng di atas panggangan listrik. Aku tahu ayah membuat kue dadar coklat karena menu itu sudah ada dalam resep selama bertahun-tahun.
Saat dalam kondisi lelah, ayah akan melahap apapun yang ada. Dia
suka mengemil roti keju Velveeta, mayo, dan selai kacang. Aku ngeri
membayangkan bagaimana makanan itu sebenarnya bisa menyebabkan kematian akibat gagal jantung.
Walaupun orangnya santai, tapi ayah juga suka berpikir secara
mendalam soal politik. Satu-satunya pembicaraan besar yang aku ingat saat dia duduk
bersama kami adalah menjelaskan kengerian komunisme. Kami tahu hal itu adalah
masalah serius saat dia memanggil kami semua ke ruang tamu untuk meminta nasihat. Padahal, dia orang yang jarang sekali serius.
Tapi pada suatu hari, kehidupan ayahku mulai kacau. Aku
melihat ayah sebagai manusia biasa. Entah bagaimana dia menyembunyikan ketidaknyamanannya
dalam pernikahannya dengan ibu. Dia akhirnya memutuskan menceraikan ibu dan
menikah dengan wanita lain. Kami semua merasa sakit karena kami tahu keluarga kami
tak akan sama lagi. Butuh waktu bertahun-tahun untuk ibu untuk bangkit melewati masa-masa itu.
Tapi saat aku memikirkan ayat Daniel 9: 9 ini, ingatanku tentang
ayah berubah menjadi sesuatu yang indah kembali. Dia adalah seorang manusia yang
cacat dan yang telah menghancurkan keluarga kami. Tapi tepat sebelum dia meninggal, dia berkata kalau dia sudah berdamai dengan Tuhan.
Ya, Tuhan itu penuh belas kasih dan pengampunan. Aku tahu aku
akan bertemu dengan ayah di surga. Aku akan melihat dia bermain lelucon di St. Petrus dan membuat sandwich yang tak biasa untuk kami.
Kita adalah manusia biasa yang tak luput dari dosa, namun Tuhan itu pengasih dan pengampun
Hak cipta Carol G. Stratton, diterjemahkan dari Cbn.com