Mazmur 91: 11
….sebab malaikat-malaikat-Nya akan diperintahkan-Nya kepadamu untuk
menjaga engkau di segala jalanmu.
Bacaan
Alkitab Setahun: Mazmur 10; Wahyu 16; Nehemia 12-13
Seorang teman berbagi kisahnya denganku. Begini ceritanya:
“Ibuku
menikah dengan Ayah dan mendapati kalau dia mengalami perlakuan kasar. Bukan saja
hanya ibu yang mengalami pelecehan. Kami, anak-anaknya juga kerap dibentak. Beberapa
tahun kemudian, sebelum ibu meninggal, dia pun memberitahukan beberapa kejadian yang dialaminya kepadaku.
Dia mengaku
kalau ayah suka marah-marah tanpa sebab. Kemungkinan karena masalah yang sangat
sepele. Seperti kentang bakar. Atau ucapan ibu yang mungkin tanpa sadar salah. Sifat
pemarah ayah membuat hidup kami tertekan. Ayah bahkan pernah marah besar seperti ledakan gunung api.
Tapi di
tengah kehidupan yang penuh tekanan itu, ibu selalu belajar untuk bergantung kepada
Yesus. Sejak menikah dengan ayah, dia mendorong dirinya jadi pribadi yang lebih
kuat di dalam Tuhan. Aku benar-benar percaya dia pasti akan mati di tangan ayah, kalau saja tidak dengan perlindungan Yesus.
Dia memberitahuku
suatu kali dimana ketakutan di kamar dan mendengar teriakan ayah berkata, “Aku akan membunuhmu.”
Saat itu di
tengah rasa lelahnya dia berdoa, “Tuhan, tolong selamatkan aku atau bawalah aku. Aku sangat lelah.”
Ayah lalu melangkah menuju kamar. Dia sudah siap untuk melakukan apa yang dia ucapkan.
Tapi saat
dia sampai di depan pintu kamar yang sudah terbuka, dia terpelanting
seolah-olah dia menabrak pintu kaca yang tidak kasat mata. Dia pun roboh ke lantai.
Dengan penuh
rasa takjub, ibu menggeleng-gelengkan kepala yang dipenuhi rambut coklat gelapnya. Dia benar-benar tercengang dengan apa yang terjadi.
“Aku akan memberimu
ini,” kata ayah saat dia kembali bangkit untuk menyerang ibu untuk kedua kalinya.
Tapi dia kembali seolah memukul sesuatu yang tak terlihat dan terpelanting kembali. Akhirnya dia menyerah dan terhuyung di kursi malasnya di ruang tamu.
“Dia tidak pernah
membicarakannya lagi,” kata ibu menjelaskan apa yang terjadi setelah peristiwa itu.
Lalu aku bertanya
alasan kenapa ibu tidak meninggalkan ayah. “Pendeta mengatakan kepada ibu kalau
hal itu bukanlah tindakan yang bermoral. Dia mengatakan kalau ibu tidak boleh memancing dia untuk marah. Aku sudah mencoba, Tapi hal itu tetap tak berhasil.”
Pada
kesempatan yang lain, setelah kami, anak-anaknya tumbuh dewasa dan menikah, mereka
pindah ke rumah yang dilengkapi denga sebuah kolam renang di pinggiran kota. Ibu
bukan seorang perenang yang hebat tapi dia suka sesekali berenang di air dingin
di musim panas yang terik. Suatu hari dia mengapung di kolam renang. Dia melihat
ayah menghentak dan mengacungkan tinju ke arahnya sambil mengucapkan sumpah serapah.
“Aku akan menenggelamkanmu di sini sekarang,” kata ayah.
Dia menenggelamkan
ibu ke dalam air dan menarik lengan ibu. Tapi sama sekali tak berhasil. Setiap kali dia mulai meraih lengan ibu, dia tetap gagal.
“Rasanya seperti tubuhku berminyak,” katanya.
Akhirnya karena frustrasi, ayah beranjak meninggalkan ibu sembari mengucapkan sumpah serapah.
Tak lama setelah itu, Tuhan berbicara di dalam hati ibu.
“Aku telah
menyelamatkanmu berkali-kali dari tangan pembunuh. Kamu tidak boleh terus berasumsi
kalau Aku akan menyelamatkanmu. Kamu harus bertanggung jawab. Sudah waktunya bagimu untuk menjauh darinya. Tinggalkan dia dan jangan kembali lagi.”
Ibu
akhirnya meninggalkan ayah. Kami semua bahkan membantu ibu untuk menghilang dari
ayah. Akhirnya, di usia 50-an dia sepenuhnya terlepas dari segala tindakan pelecehan yang dialaminya dari ayah.
Tuhan itu murah
hati. Dia mau semua orang datang kepada-Nya daripada harus masuk ke dalam api neraka. Dia akan melakukan apapun untuk membawa domba-dombanya pulang.
Ayah kemudian
bertobat di tahun-tahun terakhir hidupnya. Meskipun begitu ingatan akan perbuatannya
di masa lalu masih terus melekat kuat. Dia sama sekali tak percaya kalau dosa-dosanya dihapuskan oleh darah Yesus. Dia tetap hidup dalam ketakutan akan neraka.
Saat ayah berusia
80-an dan masih bisa melihat dengan jelas, dia masuk panti jompo, sekali-kali keponakannya datang berkunjung.
Dia menyapa
dengan gembira. Katanya, “Aku tidak akan ke neraka. Mereka memanggilku lewat
telepon dan mengatakan itu kepadaku. Mereka bilang kalau kematianku hanyalah proses perubahan menuju kehidupan yang lain.”
Di akhir
hidupnya, ayah meninggal dengan damai. Dia meninggal mendadak sebulan kemudian. Dan kamar ayah sama sekali tidak diisi dengan fasilitas telepon.
Apa yang dialami ayah temanku persis sama seperti yang disampaikan
Petrus. Bahwa Tuhan sendiri tidak menghendaki ada satu orang pun yang binasa
karena dosa-dosanya. “…tetapi Ia sabar
terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat.” (2 Petrus 3: 9b)
Jika Tuhan ada dipihak kita, siapa yang jadi lawan kita
Hak cipta Sally Jadlow, diterjemahkan dari Cbn.com