Filipi 2: 4
“…dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya
sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.”
Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 72; Ibrani 6; Zefanya 1-3
Ketel teh tuaku akhirnya tamat riwayatnya. Aku berjalan ke
dapur suatu pagi dan menemukan air sudah tumpah di atas kompor. Itu adalah
bunyi siulannya yang terakhir. Tapi aku tahu satu hal, aku tak mau mengganti ketel tehku dengan tipe listrik.
Dengan semua jenis benda listrik, TV dan bahkan komputer yang
ada di dapur, aku bertekad untuk menyimpan setidaknya satu hal, sebuah era yang
lebih lambat, lebih kuat, dan tidak rumit yaitu ketel teh sederhana di atas kompor.
Hanya ada satu masalah, suamimu lebih memilih hal yang praktis.
Dalam sebuah kunjungan ke rumah saudara perempuannya, dia pulang ke rumah sambil mengoceh tentang ceret listrik.
“Mereka menghemat setengah waktu merebus dan tidak membuat seluruh ruang dapur panas!”
Karena kami tinggal di Florida, dia pikir hal ini bisa sangat baik.
Tapi aku tak bisa dibujuk. Aku lebih baik mati karena kepanasan daripada harus memakai benda listrik itu.
Karena aku belum menemukan ketel yang aku inginkan, aku mulai
memakai panci kecil. Sepertinya butuh waktu lama supaya air dalam panci
mendidih. Semakin lama situasinya berlangsung, semakin aku merasa frustrasi. Kenapa aku tak bisa menemukan ketel yang akum au?
Lalu Filipi 2: 4 tiba-tiba terngiang dibenakku. “…dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.”
Aku mulai sadar kalau ketel yang aku sukai harus seperti yang
suamiku inginkan. Bukankah begitu seharusnya cinta bekerja? Dan bukankah begitu
cara kerjanya saat kita pertama kali menikah? Kami benar-benar setuju dengan semua
keinginan masing-masing, bukan karena kami benar-benar menginginkannya sendiri, tapi karena kami saling mengasihi.
Aku menyadari kalau ini adalah kesempatan untuk memberikan suamiku hadiah yang dia sering berikan kepadaku, hadiah yang diinginkan orang lain.
Di sabtu berikutnya, aku berkata, “Kau tahu apa? Aku pikir kita perlu ketel teh listrik. Kamu mau membantuku untuk memilih satu?”
Aku berharap kamu bisa menyaksikan ekspresi suamiku saat mendengarku mengatakan hal itu. Dia bahkan hampir melompat dari tempat tidur.
Tapi ternyata Tuhan sudah menunggu supaya aku mengalami perubahan hati untuk memberiku sesuatu yang lebih dari sekadar teko teh.
Kami segera menemukan satu teko yang kami sukai. Aku pun
bersedia membayar lebih untuk itu. Suamiku tiba-tiba menggenggam tanganku dan menggandengku dengan penuh semangat melalui toko menuju peralatan dapur.
Dari raut wajahnya, dia seolah-olah hendak berkata,” Inilah
istriku dan aku mencintainya. Dia sangat peduli tentang setiap detail kehidupanku, bahkan ceret teh sekalipun.”
Ya, aku akan bersedia membayar mahal untuk hadiah tak ternilai yang akan aku berikan.
Saat aku mulai mencoba memakai teko listrik itu, akulah yang
malahan yang kerap memuji seberapa cepatnya air mendidih. Seandainya aku tahu tentang informasi ini lebih awal, aku pasti sudah membeli teko itu setahun yang lalu.
Tapi aku memilih bersyukur karena Tuhan sangat mengasihi kita.
Kadang, kita tahu apa yang kita rindukan dengan menginginkan apa yang kita
inginkan. Kita berpikir kalau apa yang kita inginkan adalah pilihan terbaik dan
hal itu akan membuat semuanya menjadi lebih baik dan benar. Tapi seringkali
pilihan kita benar-benar berkurang. Aku sangat bersyukur Tuhan tidak mengijinkanku untuk menerima apa yang aku pikir inginkan.
Sekarang saat aku menuangkan secangkir teh lagi dan mengatur ketel
kembali ke tempatnya, aku tahu aku selalu ingin memberi ruang di meja
kehidupanku untuk apa yang Tuhan mau taruh di sana,s ebuah berkat luar biasa yang mungkin ku tolak.
Hak cipta Debbie Burgett, diterjemahkan dari Cbn.com