Ibrani 12: 15
Jagalah supaya jangan ada seorangpun menjauhkan diri dari kasih karunia
Allah, agar jangan tumbuh akar yang pahit yang menimbulkan kerusuhan dan yang
mencemarkan banyak orang.
Bacaan Alkitab Setahun: Amsal 17; Galatia 6; 2 Tawarikh 6-7
Aku
mencengkeram dengan dua tangan dan menarik keras di pagi yang cerah ini, setelah
hujan, April. Tapi, tunas hijau dengan gundukan hisap putih itu hampir tak tumbang,
ilalang itu saling menempel, mereka adalah penjahat di kebun mawarku. Aku melirik tetanggaku yang juga bekerja di teras halaman belakangku.
“Kamu pasti sudah melihat komplotan ini saat aku pertama ada di sini,” kataku.
Jill, membungkuk
sampai pinggang, bersiul sembari memotong akar dari semak akasiaku yang tumbuh
subur. Baru-baru ini, dia mengabaikan tawaranku untuk memindahkan beberapa bunga ungu ke pekarangannya.
“Aku
menghabiskan banyak akhir pekan di atas ladang ranjau ini,” kataku sembari mengangkat rumput yang tak sedap dipandang itu.
“Yup.
Kalau kamu tidak menanam sesuatu yang lain di tanah, apapun yang ada di sana,
akan bertahan. Sulit untuk di atasi,” kata Jill menggelengkan kepalanya. Dia tahu banyak soal tanah karena dia memang dibesarkan di daerah pertanian.
Tak
heran kalau komplotan ilalang ini sudah jadi mimpi buruk. Aku meyendokkan satu kaki
ke bawah dan memukuli akar-akarnya. Orang-orang yang tinggal di sana sebelum aku
tentu saja tak melakukan apapun untuk merapikan halaman belakang ini. Akar ilalang
itu sudah tumbuh cukup dalam ke tanah dan walaupun aku menyianginya setiap tahun, sepertinya aku tak akan pernah bisa benar-benar menyingkirkannya.
Aku
rindu dengan halaman belakang yang bebas rumput. Tapi hal itu seolah mustahil terjadi.
Ilalang itu tumbuh di halaman rumahku. Padahal rumahku yang sebelumnya sama
sekali bebas dari ilalang. Tekstur tanahnya yang tidak baik membuat ilalang tak
tumbuh subur di sana. Pohon-pohon bahkan mati. Kondisi yang kualami ini seolah merupakan sesuatu yang bertolak belakang.
Pekerjaan
baruku juga sedikit lebih rumit dibanding dengan pekerjaan sebelumnya. Aku pun mulai
mempertimbangkan untuk berganti pekerjaan, tapi aku suka dengan pekerjaan ini. Jadi
aku mendatangi konselor di suatu minggu dan mendapat saran bekerja dengan
orang-orang kritis, baik di tempat kerja maupun di rumah. Aku jadi pemarah saat berada di sekitar mereka.
“Mereka tak
akan berubah di usia ini,” katanya mengerutkan kening. Kamu hanya perlu mempelajari cara-cara baru untuk menghadapinya.
Aku
hanya harus berurusan dengan disposisi pemarah seperti ilalang ini. Sementara aku
menarik rumput liar membandal lainnya. Mungkin rumput ini membuatku sedikit
terganggu kalau aku belajar bagaimana menjaga hatiku bebas dari sikap marah. Walaupun
komplotan ilalang itu membuatku kesulitan, bunga mawar dan akasiaku tetap
tumbuh di tengah masalah yang rumit. Tanahnya subur. Orang-orang dengan pikiran kritis juga baik-baik saja.
Seandainya
aku mengabaikan ilalang ini, mungkin saja aku bisa menemukan sisi keindahannya juga.
Setelah semuanya, aku punya beberapa bidang yang sudah ditanami. Semoga, lahan ini
mengabaikan akar keegoisan dan kebanggaanku. Kita bisa menghasilkan keindahan dalam hidup kita kalau kita mengijinkan Tuhan memupuk hati dan pikiran kita.
Seorang
pendeta pernah menyampaikan dalam khotbahnya, “Kita semua punya makhluk kecil yang
suka merayap dan melahap buah roh yang Allah mau hidupi melaluiNya – kasih,
sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kebaikan, kemurahan hati (Galatia 5: 22) Pemulihan dimulai ketika kita melepaskan kebencian dan sulit mengampuni.”
Aku jadi
teringat dengan ayat Ibrani 12: 15 yang mengingatkan kita untuk tidak menjauh
dari kasih karunia Allah supaya jangan ada akar kepahitan yang tumbuh dan menimbulkan kerusuhan dan kecemaran terhadap orang lain.
Mari mulai
memeriksa diri kita kembali dan mulai memperbaiki cara pandang kita terhadap segala sesuatu.
Hak
cipta Dee Aspin, diterjemahkan dari Cbn.com