Efesus 4:31
Segala
kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan.
Bacaan Alkitab Setahun : Mazmur 19; Matius 19; Amos 8-9
Minggu lalu, seorang teman
Kristen saya bercerita bahwa kenyataannya dia suka marah. Lalu, ketika saya
mempertanyakan apakah dia serius suka marah, dia mengulangi kata-kata yang sama, "Ya, saya suka marah."
"Itu membuat banyak hal terjadi," tambahnya.
Kemarahan mungkin membuat
sesuatu terjadi, mungkin sesuatu menjadi lancar, tapi hasilnya nggak ada yang
baik. Kemarahan menghasilkan hal yang buruk bagi diri seseorang, misalnya luka dan kehancuran.
Saya pernah melihat seorang
istri sedang meringkuk seperti bayi ketika suaminya sedang mengomel dan mengoceh.
Itulah kenapa begitu banyak
remaja menjadi pemberotak. Yap! Mereka memberontak dan berpaling dari Tuhan karena kemarahan yang dilontarkan oleh orangtua atas mereka.
Bahkan hal itu bisa membuat
anak-anak muda bertumbuh menjadi seseorang pemarah yang kejam, bahkan sampai membunuh.
Memikirkan kemarahan, saya
merasa ngeri dengan itu. Ketika marah, orang-orang akan berkata secara mendadak tanpa memikirkan apa yang dia keluarkan dari mulutnya.
Padahal di Kolose 3:8, Allah
memberitahu kita untuk menyingkirkan kemarahan dan ucapan kasar dari mulut kita.
"Tetapi sekarang,
buanglah semuanya ini, yaitu marah, geram, kejahatan, fitnah dan kata-kata kotor yang keluar dari mulutmu."
Firman Tuhan tersebut secara
jelas memberitahukan kepada kita sebagai orang Kristen untuk tidak penuh dengan amarah.
Dia juga menegaskan maksudnya di Efesus 4:31
"Segala kepahitan,
kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan."
Tuhan menginginkan kita menyingkirkan kemarahan kita.
Ketika saya merenungkan
konsep "suka marah", saya menyadari bahwa memang nggak jarang orang menyukai kemarahan. Bahkan saya sendiri kadang ada saatnya suka marah.
Namun kenapa amarah bisa
muncul? Yap, karena kita merasa amarah bisa membuat semuanya terjadi seperti yang kita inginkan.
Saya ingat, waktu itu saya
sedang terluka karena seorang yang dekat dengan saya. Saya sangat mengharapkan dia untuk melindungi saya, menyayangi saya bukan untuk menyakiti saya.
Namun sesuatu terjadi dalam
hubungan kami, dia melukai saya dan saya ingin dia merasakan luka yang saya rasakan.
Saya nggak ingin memaafkan
dia sebelum dia minta maaf duluan, dan dia juga harus menderita sama seperti saya.
Saya selalu berusaha untuk
memperbaiki kejadian masa lalu itu, saya selalu datang ke hadirat Tuhan untuk minta ampun.
Namun, ada saat ketika suami
saya, orang yang paling dekat dengan saya yang tersakiti oleh saya, padahal saya belum mengampuni masa lalu saya.
Saya sangat marah dengan
kejadian itu, saya menyesali masa lalu saya, namun itu hal yang sama terjadi lagi.
Kenapa? Karena saya masih
suka marah. Saya pikir dengan cara amarah, semuanya bisa terjadi sesuai keinginan saya bahkan saya ingin merasa menang dari pasangan saya.
Baru-baru ini, saya menemukan
penjelasan mengapa kita suka marah: "Kemarahan adalah tiruan kekuatan orang yang lemah."
Saya suka marah ketika saya
merasa terluka dan lemah. Saya suka marah karena membuat saya merasa kuat. Namun
sayangnya, kekuatan itu adalah tiruan, itu palsu. Hal ini sama sekali nggak
memberikan apapun yang benar-benar saya dan kamu inginkan, dan kita akan selalu menyesali apa yang terjadi melalui kekuatan palsu kita tersebut.
Ketika kita dirugikan dan merasa lemah, kita tidak perlu membuat sesuatu terjadi.
Paulus berkata dalam 2
Korintus 12:10: "Karena itu, aku senang dan rela di dalam kelemahan, di
dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat."
Dengan kita lemah, demikian
kita percaya kepada Tuhan bahwa Dia akan menunjukkan diriNya yang kuat melalui kita.
Dia jarang campur tangan
ketika kita mencoba membela diri dan nggak mempercayai-Nya. Di sisi lain, Dia
akan berjuang untuk kita jika kita tetap lemah dan menyerah kepadaNya. Kita
tidak akan membutuhkan kekuatan imitiasi kita jika kita berusaha belajar untuk menghargai kelemahan kita.
"Tuhan, ajari saya untuk
bersukaciata dalam kelemahan saya dan untuk mencari kekuatan saya didalam-Mu ketika saya bersalah." Amin
Hak cipta © Kay W. Camenisch,
digunakan dengan izin.