Matius 18:19
“Dan lagi Aku berkata kepadamu: Jika dua orang
dari padamu di dunia ini sepakat meminta apa pun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh BapaKu yang di sorga."
Bacaan Setahun : Mazmur 90; Lukas 11; 2 Raja-raja 2 -25
Lagu yang barusan
selesai kami nyanyikan, membuat kumpulan orang-orang pemarah disana
berkeringat. Saya dan Denish saling berpandangan seolah bertanya, “Apa yang baru saja terjadi disini?”
Sambil menunggu pintu
stadion dibuka, kami melihat mata mereka semua dipenuhi dengan linangan air mata. Kami merasakan bahwa inilah yang disebut prinsip 1+1 = 3.
Prinsip 1+1=3 terjadi
ketika dua orang yang sangat mencintai Tuhan bersatu berdoa atau bersepakat
untuk menciptakan suatu chemistry yang luarbiasa dimana mereka bersama-sama berusaha mencapai sesuatu melebihi dari apa yang bisa dilakukan seorang diri.
Tapi bukan karena kedua orang itu luar biasa. Tetapi karena Tuhan, keduanya menjadi luar biasa.
Bila Tuhan adalah
fokus utama di dalam hati dan percakapan, Dia akan bekerja sekalipun kita nggak menyadarinya.
Saya percaya ini adalah prinsip yang Allah bicarakan melalui kitab Pengkotbah 4:12
“Dan bilamana seorang dapat dikalahkan, dua orang akan dapat bertahan. Tali tiga lembar tak mudah diputuskan.”
Jadi, Denish dan saya
bertemu saat anak-anak kami masih di taman kanak-kanak. Sekarang mereka berada di sekolah yang berbeda . Rumah kami berjarak sekitar 30 menit.
Nggak bisa dipungkiri bahwa kami harus melewati macet saat melakukan aktivitas sehari-hari, seperti ketemu acara keluarga hingga latihan bisbol.
Tapi saat kami
bertemu dan bersama, prinsip 1+1=3 itupun terjadi. Misalkan ketika kami sharing sebuah masalah besar menjadi masalah kecil. Saat kita mengungkapkan pendapat satu
sama lain, pikiran kita yang tadinya buntu kini sudah nggak tersumbat lagi dan
akhirnya menemukan ide atau jalan keluar. Itu adalah hal yang paling lucu dan juga hebat.
Prinsip ini mulai
jelas terlihat dan benar-benar nyata saat keluarga Denish yang beranggotakan 5 orang dan keluarga saya 3 orang sedang menunggu diluar stadium untuk sebuah kampanye politik. Bersama
dengan 7000 orang lainnya, kami hanya berdiri bersama seperti sekotak
korek api yang penuh.
Panasnya Florida
membuat kami hampir nggak tahan menunggu lama. Kaki kami sangat lelah, tubuh kami penuh keringat, dan kali mulai gelisah dan menggerutu.
Denise dan saya memutuskan bahwa bernyanyi akan membantu kami melewati waktu, jadi kami pun
mulai menyanyikan lagu “God Bless America.”
Baik Denise ataupun
saya tentu nggak akan memulai lagu sendiri, tapi kami tahu bahwa yang lain akan
menerima dan mengikuti saat kami mulai bernyanyi bersama. Dengan cepat,
anak-anak kami mulai ikut nyanyi bersama, lalu suami dan keluarga kami pun bergabung.
Segera kerumunan orang disekitar kami ikut mendekat dan bernyanyi sambil bergoyang.
Seperti nyala api
pada satu lilin yang menyentuh lilin lain, lagu kami menyebar dalam hitungan
detik hingga ribuan. Tiba-tiba kerumunan orang-orang pemarah itu menjadi berubah kedalam kesatuan yang penuh hormat.
Volume naik dan membesar, seolah-olah konduktor Illahi memimpinnya.
Denise dan saya
saling pandang, air mata memenuhi mata kami. Apakah ini karena perubahan mood
orang banyak akibat suara merdu Denise dan kemampuan bernyanyi saya? Sama sekali tidak.
Perubahan
sikap kerumunan tersebut adalah karena Tuhan menggunakan instrumen dua sahabat yang bersedia untuk melakukan sesuatu yang kita bisa serta mengundang Dia dalam sebuah nyanyian.
Mazmur 66:4: “Seluruh bumi sujud menyembah kepada-Mu, dan bermazmur bagi-Mu memazmurkan nama-Mu.”