Matius 6: 25
Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa
yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan
apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan
dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?
Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 62; Markus 6; Bilangan 7-8
Aku nyaris tak bisa mencapai lemari dapur nenekku yang
mengkilap, kuning dan dilapisi laminating. Tapi hari itu aku memasak mie buatanku
sendiri dan aku gembira sekali bisa duduk di sebelahnya di sebuah kursi logam kuning yang sudah usang.
“Selalu pastikan telur dalam suhu kamar,” ucap nenek mengingatkanku
yang saat itu kami memecahkan telur satu per satu ke dalam mangkuk tembikar berawarna biru terang.
Aroma masakan Italia yang enak, sedap disajikan dengan penuh
kasih oleh nenekku di dapur rumah miliknya. Itu adalah salah satu kenangan paling berkesan yang bisa aku ingat!
Berasal dari keluarga besar Italia, semua kenangan berkesan dan
penting yang aku punya bicara soal makanan. Jamuan makan dan pesta adalah pusat
setiap liburan, ulang tahun dan minggu yang sederhana. Nenekku suka melayani semua
orang. Dia suka memasak makanan, membuat orang lain bahagia melalui makanan. Biasanya,
dia akan membawa makanan untuk semua teman-temannya, memasak untuk mereka yang
sakit atau yang hanya butuh diet TLC. Dia selalu siap. Baginya, adalah hal yang
sangat jahat kalau kulkasnya yang penuh lasagna dan konelis hanya dibiarkan begitu saja.
Aku percaya ini adalah warisan yang diturunkan orang Italia, setidaknya
dalam keluargaku. Aku juga hidup untuk memberi makan siapapun dan apapun. Bebek di danau di depan rumahku tahu persis hal itu.
Bagiku, tak ada hal yang lebih buruk dari tidak menghidangkan makanan untuk keluargaku atau tidak mampu memberi makan anak-anakku.
Aku teringat dengan anak-anak Israel, saat melakukan
perjalanan di padang gurun. Sementara mereka berkeliaran tanpa henti di padang
belantara, mereka sepenuhnya bergantung kepada Tuhan sang penyedia makanan (manna)
bagi mereka setiap hari. Mereka malah tak diijinkan untuk mengambil manna lebih
dari porsi sehari. Kalau mereka melakukannya, maka manna itu akan busuk. Sama
sekali tak ada stok makanan selain manna. Bagaimana nasib mereka seandainya Tuhan tak mengirimkan makanan buat mereka di keesokan harinya?
Mereka harus punya iman akan apa yang mereka gak bisa lihat
dan dengan sepenuh hati percaya kalau mereka akan mendapati makanan segar untuk
anak-anak mereka setiap hari. Mereka harus percaya kalau Tuhan akan menyediakan persediaan yang baru dari Surga setiap hari.
Orang-orang Israel ini harus percaya kalau Tuhan akan menyediakan kebutuhan mereka!
Di Markus 10: 36, Yesus bertanya, “Apa yang kamu kehendaki Aku perbuat bagimu?”
Tuhan mengasihi kita dengan cara yang sederhana. Dia hanya kita
percaya kepada-Nya. Dia hanya meminta kita menyampaikan kebutuhan kita. Dia belum memberikan kepada kita karena kita belum memintanya.
Dengan memerintahkan bangsa Israel untuk tidak mengumpulkan manna
lebih dari yang mereka butuhkan untuk satu hari, Tuhan meminta mereka untuk
sepenuhnya bergantung pada berkat-Nya yang besar. Berkat itu cukup untuk memenuhi semua kebutuhkan kita di waktu-waktu tertentu.
Di 2 Korintus 12: 9, Paulus menyampaikan, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab
justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Paulus mengaku kalau di
dalam kelemahanlah kuasa Tuhan digenapi di dalam hidupnya.
Kadang kita suka memandang jauh ke depan, dan gunung-gunung yang kita hadapi serta cobaan dan badai yang melanda kita, tampaknya sangat mustahil untuk ditaklukkan. Tapi kemudian Tuhan muncul lagi dengan pertolongan-Nya yang penuh kasih setiap hari. Sambil berkata, “Percayalah, kita akan melewati masa ini bersama-sama hari ini, Aku akan kembali besok dan kita akan menanganinya besok.”
Jangan takut, jangan bimbang karena kesusahan sehari biarlah untuk sehari.
Hak cipta Nina
Keegan, digunakan dengan ijin.