Matius 21:12-13
Lalu Yesus masuk ke
Bait Allah dan mengusir semua orang yang berjual beli di halaman Bait Allah. Ia
membalikkan meja-meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati dan
berkata kepada mereka: "Ada tertulis: Rumah-Ku akan disebut rumah doa.
Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun."
Bacaan Alkitab Setahun
Mazmur 39; Kisah Para Rasul 11; Keluaran 27-28
Saat bertamasya dengan dua orang teman kecil istimewa, kami pergi ke toko suvenir yang menjual sekeranjang jepit rambut berwarna-warni yang dipajang di dekat lantai. Itu seperti magnet bagi Megan, yang berusia 18 bulan. Adik perempuannya yang berusia empat tahun, Mollie segera bergabung dengannya.
Ini peringatan dari saya, “Tidak, tidak. Jangan sentuh,” tidak berpengaruh dalam menjauhkan tangan-tangan kecil itu dari keranjang, bahkan ketika saya ingatkan lagi. Akhirnya, saya berbicara sedikit lebih keras, "Taat." Segera, kedua gadis itu menarik tangan mereka dan mundur. Mata Mollie dipenuhi dengan rasa sakit dan kebingungan.
Saya telah mempelajari kemarahan dalam Alkitab selama beberapa bulan, dan saya menyadari bahwa Mollie bereaksi, kepada saya yang sepertinya marah. Saya tidak merasa marah. Saya juga tidak sedang marah. Ya, suara saya menjadi keras untuk kata terakhir tadi, tetapi saya beralasan bahwa saya harus tegas agar mereka tahu bahwa saya serius. Namun, semakin saya memikirkannya, semakin saya menyadari bahwa tindakan saya menunjukkan semua tanda yang digunakan dalam kemarahan untuk mendapatkan apa yang saya inginkan. Reaksi mereka memberi tahu saya bahwa anak-anak itu berpikir saya pasti marah, sekalipun saya pikir saya marah atau tidak. Saya telah memanipulasi gadis-gadis dengan kekerasan.
Ketaatan itu penting. Jika mereka tidak belajar untuk mematuhi otoritas di dunia ini, mereka tidak akan mematuhi Allah. Tidak bertanggung jawab jika tidak mengatasi masalah ini. Namun, apa yang tampak sebagai logika yang masuk akal dan pembenaran tidak menghapus ingatan kedua gadis itu menjauh dari saya. Mereka patuh, tetapi saya telah mengasingkan mereka untuk mendapatkan kepatuhan.
Tetapi Yesus menjadi marah ketika Ia mengusir para pedagang dan ternak keluar dari bait suci. Karenanya, tidak apa-apa bagi saya untuk bersikap tegas jika saya memliki alasan kuat. Benarkan?
Ketika saya melihat lebih dekat pada bagian itu, saya menemukan itu tidak benar.
Kemarahan umumnya merupakan reaksi daripada sebuah respons atas sebuah tindakan. Namun, karena Yesus hanya melakukan apa yang Dia lihat dilakukan Bapa-Nya, kita tahu bahwa demonstrasi-Nya di bait suci bukanlah reaksi terhadap penukar uang. Itu adalah tindakan dalam menanggapi Bapa-Nya.
Lebih jauh, jika kita berada di sekitar seseorang yang memiliki ledakan kemarahan, kita ingin melawan atau mundur dan berlari. Tetapi bukan itu cara orang merespons Yesus.
Para murid diingatkan akan sebuah ayat dari Mazmur. (Markus 11:17)
Orang banyak mendengarkan Yesus, membuat para imam kepala dan ahli Taurat takut. (Markus 11:18)
Orang buta dan lumpuh datang kepada-Nya untuk penyembuhan. (Matius 21:14)
Dia mengajar di bait suci sepanjang sisa hari itu dan “imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat melihat hal-hal menakjubkan yang Dia lakukan.” (Matius 21:15)
Anak-anak itu berseru, “Hosanna bagi Anak Daud.” (Matius 21:15)
Orang-orang tertarik kepada Yesus setelah ledakan kemarahannya. Tidak ada yang mundur seperti Mollie dan Megan. Para Imam-imam Kepala dan ahli Taurat mengizinkan Dia untuk terus mengajar dan menyembuhkan di bait suci, dan kemudian bereaksi karena tanggapan orang lain kepada-Nya. Mungkinkah dalam kejadian itu Yesus bukan bereaksi dalam kemarahan, tetapi Yesus bertindak dengan otoritas?
Apakah Dia juga menggunakan otoritas itu - otoritas yang sudah seharusnya menjadi miliknya sebagai Anak Allah? Setelah menanyai Dia, para imam kepala mengizinkannya untuk mengajar karena Dia bertindak sebagai Seseorang yang berotoritas.
Saya bersyukur hubungan saya dengan teman-teman kecil saya itu tidak rusak secara permanen, dan mereka terus belajar dan tumbuh. Saya terutama bersyukur karena saya percaya melalui peristiwa itu Tuhan memiliki maksud agar saya belajar sesuatu.
Berkat mereka, mata saya terbuka untuk melihat bahwa saya lebih sering marah daripada yang saya kira. Saya juga melihat betapa mudahnya kemarahan memengaruhi hubungan. Kekerasan saya berasal dari mempertahankan otoritas saya sendiri, bukan dari motivasi untuk melatih kebenaran. Saya mencari pembenaran atas cara yang saya gunakan, tidak mengikuti kepemimpinan Tuhan. Ketika mencoba untuk membuat mereka berada di bawah wewenang, saya malah keluar dari dari otoritas di atas saya.
Saya masih percaya tentang pentingnya mengajarkan kepatuhan, dan bahwa perlu ada konsekuensi untuk ketidakpatuhan. Namun, saya belajar untuk melakukannya di bawah wewenang sehingga akan menarik orang kepada saya - dan kepada Yesus - daripada mengusir mereka.
Apakah kamu memiliki masalah dengan kemarahan yang tak terkendali? Yuk curhat ke Sahabat24, para konselor kami siap membantumu, hubungi di SMS/WA 081703005566 atau telp di 1-500-224 dan 0811 9914 240 bisa juga email ke [email protected] atau lewat Live Chat dengan KLIK DISINI.
Hak Cipta © Kay Camenisch, digunakan dengan izin.