Amsal 3:5-6
Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.
Bacaan Alkitab setahun: Mazmur 135; Yohanes 12; Ratapan 3
Saya mendapatkan pemeriksaan secara menyeluruh pada mata di usia saya yang ke 12 tahun. Wajah saya diletakkan di atas sebuah alas untuk pemeriksaan lebih lanjut, sementara dokter menyorotkan cahaya yang cukup terang ke arah mata saya.
"Hmm.." Ujarnya. Singkat, kemudian dia kembali bersandar di kursinya.
"Dia mewarisinya," terangnya. "Kamu harus siap, tidak ada obat buat penyakit mata ini."
Ayah saya membawa gen Retinitis Pigmentosa yang menyebabkan kemunduran retina, yang dalam banyak kasus, menyebabkan kebutaan. Sementara saudara kandung saya, dia nampaknya baik-baik saja. Hanya saya yang merwarisi gen ini.
Lima belas tahun setelah diagnosa awal saya, ayah mulai kehilangan pengelihatannya, begitu juga saya. Saat itu, dia berusia 55 tahun, sementara saya baru berusia 30 tahun. Dalam dua tahun kemudian, kami berdua sama-sama kehilangan pandangan sama sekali.
Saya menggelengkan kepala kepada Tuhan, pada dunia dan membayangkan apa yang akan terjadi pada hidupku, karena yang ada hanyalah kegelapan. "Hanya keajaiban yang bisa membuat saya bisa melihat kembali," terang dokter tersebut.
Hidupku, seketika itu juga hancur. Mimpiku sirna. Saya ingin melihat ketiga anak laki-laki saya tumbuh.
Saya berpaling kepada Tuhan, meminta harapan dan kekuatannya, Dia menjawab dengan membuka mata rohani saya kepada sebuah pewahyuan yang baru. Ayah saya memberi saya gen ini, tetapi dia juga memberi hal lain yang jauh lebih berharga, yaitu tekad dan keuletan.
Orang tua saya, beserta saya dan kakak saya tinggal di Bolivia pada tahun 1964 ketika ayah menentang oposisi keluarga untuk pindah ke Amerika. Dia dan Ibu bekerja tanpa lelah agar bisa memenuhi persyaratan yang diberlakukan oleh Departemen Imigrasi AS untuk memasuki negara dan membangun tempat tinggal.
Sampai tiba hari dimana dia akan pergi sendirian ke Amerika Serikat. Begitu tiba, dia langsung menghadapi penghinaan, kesepian, dan ketidakpastian. Dia diejek karena tidak bisa berbicara dengan bahasa Inggris dengan lancar. Namun, ayah tidak pernah menyerah.
Dia berhasil mengumpulkan cukup uang untuk memenuhi kebutuhan hariannya, menyewa apartemen kecil, membeli furnitur yang sederhana dari toko barang bekas, dan juga membawa DP untuk sebuah mobil.
Sembilan bulan kemudian, dia mengirimi kami tiket pesawat. Keluarga kami mulai hidup yang baru di Amerika. Beberapa dekade kemudian, sebagai warga negara Amerika, saya melihat kembali apa yang telah ditunjukkan oleh ayah kepada kami semua.
Dialah orang yang mengajari kami tekad untuk terus maju meski sedang menghadapi kesulitan. Dia pula, yang menunjukkan kalau kerendahan hati sangat penting agar bisa meraih kesuksesan. Dia menunjukkan komitmen kepada keluarga dan betapa pentingnya untuk bisa menetapkan prioritas.
Perjalanan ayah yang mengajari saya pembelajaran berharga untuk bisa membuka jalan dari kegelapan tersebut. Seperti seorang anak yang baru mengambil langkah pertamanya, ayah saya berpegangan dengan sangat erat kepada Tuhan. Ia tahu apa yang akan dihadapinya, dia melangkah bersama dengan Tuhan dari tempat asalnya yang nyaman di Bolivia, menuju negara asing tanpa kepastian.
Hal yang sama saya lakukan. Saya melangkah dari ketidaktahuan di balik pengelihatan yang serba gelap, memegang tangan Tuhan yang berbisik melalui firmanNya pada Amsal 3:5-6.
Saya tidak tersandung dalam ketakutan, khawatir, atau rasa tidak aman lagi. Saya berjalan dengan percaya bahwa ada Dia yang telah memberikan janji-janjiNya. Dia membimbing saya untuk belajar memasak, mencuci, membersihkan rumah, dan mencari transportasi untuk anak-anak. Dan yang terpenting, sebagai seorang Bapa yang pengasih, Tuhan membawa kembali sukacita.
Meskipun secara fisik saya buta, Tuhan memberikan saya visi yang sangat jelas, sehingga saya bisa merasakan sukacita. Sukacita yang tumpah ruah, sehingga saya bisa menjalani hari sebagai seorang istri, ibu, guru sekolah minggu, penerjemah, pembicara inspirasional, bahkan penulis.
Apa yang saya warisi dari ayah saya membantu saya untuk bisa melihat hidup yang mengalami jauh lebih banyak penghargaan. Apa yang diterima dari Bapa surgawi membuat hidup saya jauh lebih kaya. Dia memberi saya kekuatan untuk menghadapi tantangan, jalan untuk diikuti, dan saya bisa berjalan di dalam teranNya.
Tuhan memberikan saya rasa percaya diri, bahwa saya bisa menghadapi
hari esok.
Hak Cipta © Janet Perez Eckles, digunakan dengan izin.