Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia:
"Sudah selesai." Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan
nyawa-Nya.
Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 86; Roma 14; Ulangan
19-20
“Enyahkanlah
Dia!” Ini adalah kata-kata keras yang disampaikan oleh para imam kepala kepada Pontius
Pilatus di hari itu…hari dimana kita mengenalnya dengan sebutan Jumat Agung.
“Tetapi mereka berteriak bersama-sama:
"Enyahkanlah Dia, lepaskanlah Barabas bagi kami!” (Lukas 23: 18)
Hari itu
tampak seperti penindasan yang merujuk pada hari tergelap manusia, meskipun berujung
pada kebaikan. Bahkan peringatan yang paling menyedihkan ini mengingatkan kita bahwa
saat menghadapi dosa, kebaikan kita tak lagi berguna! Hanya ada satu pribadi
yang baik, dan nama-Nya adalah Yesus Kristus.
Setiap kali
perayaan Jumat Agung, dunia Kristen selalu mengarahkan pandangan ke salib di Bukit
Kalvari. Kita mencoba untuk memahami harga tak terhingga yang dibayar Yesus untuk
menebus kita kembali dari hukuman mati sejak kejatuhan Adam dalam dosa.
Ini adalah satu
hari yang dipenuhi dengan keheningan yang kudus di seluruh dunia. Tak ada misa di
Gereja atau Katedral manapun. Organ dan instrumen yang biasanya terdengar dalam
pujian dan penyembahan. Tak ada lilin, ornamen
agama yang diletakkan di altar dan salib yang dibungkus kain hitam.
Walaupun hari
ini kita menekankannya sebagai hari kematian Yesus, tapi hal itu bukanlah liturgi
pemakaman yang benar-benar kita tahu. Sebaliknya, kita menyambut Jumat Agung dengan
hati yang bersyukur, karena kita tahu kematian bukanlah akhir dari sebuah cerita.
Mari kembali
melihat kisah kematian Yesus 2000 tahun yang lalu itu. Adegan itu sangat mengerikan. Pada pukul 3 sore, Yesus mencoba menghirup nafas segar terakhirnya…RohNya meneriakkan
kata-kata terakhir: Sudah selesai!”
Langit meresponi
peristiwa itu, awan seketika berubah gelap dan membuat bumi bergoncang. Peristiwa
sakral dari penyiksaan seseorang, yang tergantung di antara langit dan bumi itu
berubah menjadi kesunyian. Momen yang begitu kudus.
Dari dalam
Bait Suci, sebuah suara keras terdengar. Semua mata menyaksikan tirai suci terbelah
dari atas ke bawah. Saat itu hadirat ilahi seketika menghampiri manusia.
Haleluyah! Setiap jiwa manusia dipenuhi
karunia akan hak istimewa yang berbeda-beda sebagai akses untuk masuk ke tempat
yang Maha Kudus, dimana hadirat Tuhan bersemayam.
Para
malaikat surga bahkan menyanyikan pujian yang memekikkan telinga. Karena para pembawa
kabar sukacita berteriak-teriak di setiap lorong kemuliaan-Nya. Mereka melayang-layang
di atas tahta kudus Bapa.
“Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia.”
(Yohanes 1: 29)
Sementara hati
kita pilu karena Yesus telah mati di hari itu. Kita bahkan jauh dari gaung sukacita
dan sorak sorai yang murni sebagai bentuk syukur atas keagungan Allah bagi seluruh
umat manusia.
“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini,
sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang
percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yohanes 3:
16)
Jumat Agung
adalah hari dimana kita seharusnya dipenuhi hati yang bersyukur. Hari itu harusnya
adalah perayaan dari sebuah pesta yang selalu kita sukai.
Hak cipta @Missey Butler, diterjemahkan dari Cbn.com