"Sengsaraku Engkaulah yang menghitung-hitung, air mataku Kautaruh ke dalam kirbatMu. Bukankah semuanya telah Kaudaftarkan?"
Mazmur 56:9
Bacaan Alkitab setahun:Mazmur 38; 1 Timotius 2; Yesaya 29-30
Waktu menunjukkan hampir tengah
hari, disinilah saya, berada
dalam antrian di sebuah restoran cepat saji. Pikiran saya melayang, membayangkan nikmatnya makan siang sambil mengerjakan beberapa artikel di meja sepi yang berada di pojok resto.
Kemudian ada seorang pembeli yang
membuyarkan lamunan tersebut, berkata "Tidak seharusnya kamu parkir di
dekat dengan orang yang baru saja pulih dari operasi. Saya bahkan tidak bisa keluar dari mobil."
Saya kaget, kemudian membalasnya dengan permintaan maaf.
"Saya minta maaf,” ungkap saya.
Sambil memutarkan bola matanya, wanita tersebut menggelengkan kepalanya dan kembali ke tempatnya semula.
Tiba saatnya kini saya mendapat giliran untuk memesan
makanan, sambil menunggu, saya
berpikir mengenai bagaimana caranya agar wanita ini memaafkan saya.
Namun, ditengah-tengah kesibukan makan siang, menghampirinya nampak sangat tidak memungkinkan.
Saya duduk bersama dengan pesanan
makanan, masih terbayang mata dari wanita yang menegur saya tadi. Saya bergulat dengan pikiran mengenai perkataan wanita tadi. Tidak lama kemudian, air mata jatuh dari kedua mata saya.
Memandang kosong ke arah layar,
saya harap tidak ada satupun yang menyadarinya. Saya jadi ingat betapa
mengerikannya sebuah operasi. Rasa sakit yang datang bersama takut dan khawatir
tersebut pernah saya lalui. "Pasti wanita tersebut menahan sakit sambil berpikir-pikir
bagaimana caranya bisa keluar dari mobilnya yang saya halangi tersebut," gumam saya.
Pasti wanita tersebut juga merasa
terjebak dan tidak ada orang yang memperhatikannya. Saya telah melukai perasaan wanita tersebut.
Restoran yang kini mulai ramai
ini dipenuhi dengan orang-orang dari beragam latar belakang. Saya bisa
samar-samar mendengar percakapan santai dari meja sebelah. Saya mencoba untuk bisa fokus pada pekerjaan, tapi tidak bisa.
Lebih dari kata maaf, saya merasa
kalau wanita ini butuh untuk didoakan. Terlepas dari ketidaknyamanan yang telah
saya berikan kepadanya, kenapa wanita tersebut tidak bisa menerima ucapan maaf saya?
Pikiran saya kemudian dibawa dalam Matius 5:43-48.
“Kamu telah mendengar firman: Kasihilah
sesamamu manusia dan bencilah musuhmu.
Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang
menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang
di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.
Apabila kamu mengasihi orang yang
mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?
Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah
lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal
Allahpun berbuat demikian? Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna. "
Setelah menyelesaikan makan
siang, saya bertanya-tanya mengenai asal dari wanita tersebut. Saya juga pernah
berada diposisinya, tidak menyadari arti pengampunan dari sang Juruselamat.
Hidup tanpa adanya rasa nyaman dan damai sejahtera dari Tuhan sangatlah
menyedihkan, sehingga mereka mengeluarkan emosi tersebut pada siapapun yang mereka bisa luapkan.
Saya membersihkan sisa makanan
yang ada di meja seraya mematikan laptop. Tissue
yang tadi dipakai untuk mengelap air mata saya tinggalkan di tempat sampah tak
jauh dari kursi tempat saya duduk. Tentu saja ini bukanlah sebuah kejadian yang saya rencanakan.
Sebuah teguran dari wanita
tersebut mengubah rencana saya menjadi sebuah syafaat. Namun dengan waktu
berdoa untuk wanitaini, saya diberi pilihan untuk percaya bahwa setiap air mata
yang menetes telah terkumpul dalam botol kecil yang sangat menakjubkan.
Kirbat air mata bukanlah sekedar
simbol kesedihan maupun kedukaan, tapi juga sebagai simbol kasih setia Tuhan,
dimana Dia selalu hadir dalam setiap musim kehidupan kita.