Iman Orang Buta VS Iman Orang Nazaret
Kalangan Sendiri

Iman Orang Buta VS Iman Orang Nazaret

Lori Official Writer
      3510

Matius 9: 29

"Jadilah kepadamu menurut imanmu."


Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 20; Matius 20; Kejadian 39-40

Apa imanmu tampak kecil? Lihat hatimu. Mungkin kamu perlu mengarahkannya lagi.

Pikirkan apa yang disampaikan Yesus ini:

“Lalu Yesus menjamah mata mereka sambil berkata: "Jadilah kepadamu menurut imanmu." Maka meleklah mata mereka. Dan Yesuspun dengan tegas berpesan kepada mereka, kata-Nya: "Jagalah supaya jangan seorangpun mengetahui hal ini.”” (Matius 9: 29-30)

Kata-kata ini jelas sekali berarti bahwa iman menentukan bagaimana Tuhan mau membantu kita dan bahwa ketidakpercayaan membuat kita gak menerima apa yang kita butuhkan dari Dia.

Orang-orang buta dalam kisah di atas percaya kalau Yesus bisa menyembuhkan mereka dan Dia melakukannya. Sebaliknya, penduduk Nazaret, kota kelahiran Yesus, sama sekali gak mempercayai-Nya, dan mereka gak mengalami mujizat (Markus 6).

Yang gak begitu jelas adalah bahwa baik orang-orang buta dan penduduk Nazaret sama-sama percaya. Orang buta itu percaya kalau Yesus adalah seorang nabi yang punya kuasa untuk melakukan mujizat dan orang-orang di kota kelahiran-Nya percaya kalau Dia sama seperti mereka dan pasti tidak bisa melakukan mujizat.

Apakah kita semua selalu gak percaya pada sesuatu? Dan apa yang kita yakini, apa yang benar-benar kita yakini, benar-benar sangat mempengaruhi hubungan kita dengan Tuhan dan hasil dari doa-doa kita.

Kalau aku meminta bantuan kepada Tuhan, tapi tetap cemas dan ragu, bisalah itu berarti kalau aku punya iman yang lebih besar daripada masalah yang aku alami? Yesus berkata, terjadilah seperti apa yang kau Imani (Matius 9: 29). Dalam artian, kita akan mengalami hal yang sesuatu dengan kondisi iman kita.

Bukankah Alkitab mendesak kita untuk membangun iman di dalam Tuhan?

“Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” (Filipi 4: 8)

“Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam..” (Yosua 1: 8)

Keluargaku pindah ke Nogales, Arizona waktu aku masih SMA. Tempat itu lebih seperti bukit yang disebut dengan Gunung Monyet. Di bagian depan berupa dinding vertikal dan pendaki harus mendaki bagian belakangnya. Di sana, mereka bisa merangkak dari satu batu ke batu lain, mengambil langkah dengan hati-hati di sepanjang tepinya yang sempit dan menyeberangi pelana sempit menuju puncak.

Bahkan setelah aku dan saudaraku beranjak dewasa dan pindah ke kota yang jauh dari Amerika Serikat, kami berharap bisa mendaki gunung itu saat berkunjung. Di salah satu kesempatan, kami memarkir mobil kami di tempat pinik Pena Blanca dan mulai melakukan perjalanan menuju Gunung Monyet.

Walaupun kami hanya beberapa ratus meter dari dasar gunung, pergerakan kami melambat karena tanah berbatu dan depresi seperti parit yang harus kita lewati. Hebatnya, saat kita turun ke bawah, pemandangan gunung itu benar-benar hilang. Kalau seseorang terlalu lama di sana, dia mungkin akan lupa ada gunung yang hanya berjarak seratur meter jauhnya dari sana.

Masalah akan selalu ada. Saat kita tenggelam di tengah-tengah situasi yang menantang, kita akan memandang keadaan itu. Tuhan jauh lebih besar daripada kesulitan kita, tapi pandangan kita akan Dia tampaknya terputus. Jika kita berdoa dalam kerangka pikiran yang suram, apakah itu dinamakan berdoa dengan iman? Pada saat-saat seperti itu, kita harus dengan sengaja mengingatkan diri kita sendiri bahwa Allah dan kuasa, kasih, dan solusi-Nya masih ada, tepat di atas tumpukan batu.

Karena iman kita mempengaruhi apa yang akan terjadi, mari kita membuat titik harapan pada Tuhan. Jangan biarkan iman kita terjebak pada hal yang salah.


Hak cipta Celia Milslagle, digunakan dengan ijin Cbn.com 

Ikuti Kami