Belajar Akrab ke Orang Lain Dengan Menjadi Tuan Rumah yang Ramah
Kalangan Sendiri

Belajar Akrab ke Orang Lain Dengan Menjadi Tuan Rumah yang Ramah

Lori Official Writer
      3444

Kisah Para Rasul 2: 46-47

Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.


Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 50; Filipi 1; Yesaya 53-54

“Silahkan datang,” kata Cline itu adalah kata-kata termanis yang bisa didengar seorang anak muda. Kata-kata itu disampaikan saat keluarga Paden diundang untuk makan malam setelah kebaktian Minggu pagi.

Selama depresi berat, makanan menjadi hal yang begitu menakutkan. Sehingga undangan untuk makan di rumah tetangga menandakan minggu yang berlimpah. Seorang bocah yang sedang bertumbuh tahu bahwa meja tuan rumah kemungkinan besar akan dipenuhi dengan ayam goreng yang lezat dan sayuran buatan sendiri. Anak laki-laki dengan perut buncit bisa makan dengan sangat kenyang.

Sedihnya, ucapan ‘Silahkan datang’ itu semakin jarang diucapkan dalam hidupku yang sibuk. Kebiasaan itu hanya lazim terjadi di jaman nenek moyangku. Nenek buyutku menanam sayuran sendiri, sapi perah, mentega, roti panggang, membuat selai, meremas leher ayam dan menggoreng ayam mereka sendiri.

Tugas-tugas ini adalah bagian dari tugas keluarga besar. Tapi, wanita masih meluangkan waktu untuk mengundang tetangga untuk membaca doa. Mereka juga menyisihkan waktu untuk menyiapkan daging panggang dan mengundang pendeta untuk datang makan malam di hari Minggu.

Hari ini, terlalu banyak tetangga yang tidak aku kenal. Aku bahkan hanya tahu warna mobil dan rumah tetangga dekat saja.

Karena ingin terlihat lebih ramah, aku merencanakan untuk makan siang bersama beberapa orang yang ingin aku kenal baik. Aku mengundang para ibu dan anak-anak untuk membantuku memetik blueberry di kebun terdekatku. Setelah itu, kami makan siang sederhana di rumah. Saat jam siang mulai tiba, telepon berdering. Beberapa diantaranya membatalkan makan siang karena anaknya sakit.

Saat aku keluar rumah pada pukul 9 pagi untuk memetik blueberry, putriku menelepon dari tempat kerjanya. Dia menanyakan persiapan yang sudah aku lakukan. Aku menjelaskan dilema tentang terlalu banyak makanan sisa dan tak seorang pun tamu yang datang. Dia lalu menyarankan untuk membawa sekretaris di kantornya untuk makan siang dan juga gadis-gadis lainnya.

Mereka pun begitu senang dengan undangan dadakan itu. Saat makan siang, mereka menyantap salad ayam buatanku dan mengunyah muffin blueberry yang begitu segar dengan lahap.

Mereka, orang-orang yang baru kukenal, telah melahap semua makanan di meja. Tapi saat hidangan teh penutup, keakraban pun mulai mencair. Seorang diantara mereka mulai belajar Alkitab bersama kami dan kemudian menjadi seorang Kristen.

Roma 12: 13 mendorongku untuk menjadi pribadi yang ramah. Kata-kata tuan rumah jadi gagasan untuk memperlakukan orang asing sebagai tamu. Keramahtamahan tak terbatas hanya pada makanan, tapi bagaimana kita menciptakan suasana nyaman.

Walaupun aku suka menghidangkan makanan dari dapurku sendiri, tapi keinginan untuk mengundang orang lain untuk datang masih jadi sebuah tantangan. Kadang aku belum selesai membuat popcorn atau makanan penutup. Tapi aku berusaha menjadi tuan rumah yang ramah. Tujuannya adalah supaya lebih banyak orang yang juga mempraktikkan keramahan kepada orang lain.

Apakah kamu sudah jadi tuan rumah yang baik bagi orang-orang baru yang datang? Mari belajar untuk menjadi akrab dengan orang lain lewat apa yang kita punya.


Hak cipta The Stained Glass Pickup: Pandangan Sekilas tentang Kebijaksanaan Tuhan yang Tak Biasa.

Ikuti Kami