Roma 8: 32
Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?
Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 6; Matius 6; Kejadian 11-12
Waktu anak pertama dan kedua saya berusia lima dan tiga tahun, mereka sudah menemukan kelemahan saya.
Mereka tahu itu bukanlah es krim, bisbol atau saus buatan ibu mereka atau bahkan pelukan dan mata memelas mereka.
Tidak satupun dari hal itu yang membuatku menangis. Anak-anak saya melihat ayah mereka menangis. Itu bukan hal yang saya inginkan atau harapkan. Karena bagaimanapun saya laki-laki, tahu sendiri kan! Saya bekerja, untuk menunjukkan kekuatan saya. Saya melatih, menolong, memperlihatkan, menunjuk dan membimbing. Saya membangun komunikasi, hidup disiplin dan memimpin. Saya berdoa. Saya tidak menangis.
Kecuali…saat saya membaca buku Shel Silverstein berjudul The Giving Tree.
Dan seperti yang saya bilang, anak-anak saya, yang sudah beranjak lebih dewasa, tahu soal hal ini. Harusnya mereka memanfaatkannya.
Kami harus punya lusinan buku-buku anak, tapi jika sudah waktunya malam dimana ayah melakukan ritual membaca buku penghantar tidur, apa yang mereka pilih selama tahun-tahun itu? Tidak ada kecemasan atau air mata. Tapi semuanya tentang buku anak-anak..jadi..apa yang terjadi?
Pertama-tama, Anda mungkin penasaran jika Anda tidak tahu ceritanya. Pohon dan seorang anak sudah bersahabat sejak masa kanak-kanak. Dia memakan apel dari pohon itu, memanjat cabangnya, berayun di sana dan beristirahat di bawahnya.
Tetapi sesuatu terjadi, saat anak itu datang ke pohon, pohon itu semakin memahami anak tersebut dari waktu ke waktu. Setiap kali anak itu butuh sesuatu, pohon itu akan menurutinya dan sang pohon senang melakukannya. Dia tidak punya banyak hal, tapi memberikan semuanya. Sampai pohon itu tinggal tersisa menjadi tunggul.
Siapa sangka tunggul pohon itu sangat dibutuhkan oleh anak laki-laki yang sudah beranjak tua itu. Dia menjadikan tunggul tersebut menjadi tempat untuk duduk, beristirahat dan merenung. Pada akhirnya, pohon itu bahagia.
Saya menangis lagi.
Apakah karena saya membacakan cerita itu untuk anak-anak saya? Saya tahu cerita kami sangat mirip dengan pohon dan anak laki-laki itu. Bagi saya, anak-anak adalah sumber kebahagiaan saya. Saya harus memenuhi apa yang mereka inginkan.
Saya belajar dari kisah ini bahwa kasih yang sesungguhnya memberi hingga titik penghabisan. Kasih membutuhkan pengorbanan, bahkan kita rela berkorban sekalipun sorang yang menerimanya tidak menghargai atau memahaminya. Hal itu terjadi karena keinginan kita untuk dekat dengan orang yang kita kasihi.
Karena itulah saya pasti selalu menangis saat membaca cerita ini.
Setiap kali saya menyelesaikan cerita ini, mata saya akan mulai berkaca-kaca. Anak-anak saya akan bertanya apakah saya baik-baik saja. Anak bungsu saya sering bertanya, “Kenapa ayah menangis?” Dan setiap kali saya menjelaskan, saya yakin dia sedikit memahaminya.
Air mata saya dipenuhi dengan rasa kagum terhadap Tuhan dan ucapan syukur saya atas kasih yang Tuhan berikan bagi saya anak yang egois ini.
Beberapa waktu lalu, anak-anak saya membuka hati mereka untuk menerima kasih Tuhan. Saya berdoa supaya mereka tidak melewatkan pelajaran lain dari buku itu bahwa Tuhan hanya membutuhkan waktu kita untuk datang kepada Dia.
Hak cipta Shawn McEvoy, disadur dari Crosswalk.com