Apakah Kamu Akan Melewatkan Berkat?
Kalangan Sendiri

Apakah Kamu Akan Melewatkan Berkat?

Inta Official Writer
      2915

1 Yohanes 4:11

"Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi."

Bacaan Alkitab setahun: Mazmur 3; Wahyu 8-9; Ezra 7-8

Thanksgiving merupakan sebuah hari khusus untuk mengucap syukur atas berkat-berkat yang telah diterima oleh seseorang. Biasanya, hari khusus ini akan dirayakan oleh seluruh anggota keluarga, teman, atau orang-orang terdekat.

Kalau kita lihat ada orang Amerika Serikat yang sedang berkumpul bersama dengan keluarga, lengkap dengan sajian kalkun di meja makan, maka bisa jadi mereka sedang merayakan hari Thanksgiving. Perayaan yang sangat identik dengan kebersamaan dan penuh ucapan syukur ini dirayakan sebulan sebelum perayaan Natal.

Hal ini kemudian membuat kita merenung kembali, sudahkah kita menghidupi ayat dalam 1 Yohanes 4:11 di atas?

Suami saya ditugaskan untuk melayani sebuah kota kecil beberapa tahun yang lalu. Keputusan itu membawa kami sekeluarga pindah ke kota tersebut. Setelah saya pindah dan sedang sibuk membongkar barang-barang yang baru saja dipindahkan, tiba-tiba telepon rumah kami bordering.

Seorang wanita dari sekolah lokal mengatakan kalau nama saya dipertimbangkan untuk bisa menjadi seorang mentor ditempatnya tersebut. Menanggapi hal tersebut, saya hanya bisa mengatakan kalau saya akan memikirkannya lebih dahulu dan akan memberi tahu keputusannya sesegera mungkin.

Saya pikir, saya tidak akan bisa melakukan hal ini. Namun, sesuatu seakan terbesit dalam pikiran saya. 'Connie, apakah kamu ingat pada semua orang yang sudah meluangkan waktunya untuk memberkati hidupmu selama bertahun-tahun?'

Saya tahu kalau itu adalah Tuhan, bukan pikiran saya sendiri, sebab saat itu, saya terlalu sibuk memikirkan diri sendiri.

Kemudian, wajah keluarga, teman, guru, dan rekan kerja lainnya muncul dalam benak saya. Masing-masing dari mereka sudah berkorban untuk membantu saya, sebagai orang yang semula pemalu jadi seperti sekarang ini. Saya berterima kasih kepada mereka dan bagaimana mereka menjadi berkat dalam hidup saya.

Saya bertanya, bisakah saya melakukan, sedikit saja, untuk orang lain? Meski ragu, tapi saya yakinkan diri untuk menelepon pihak sekolah dan setuju untuk menjadi mentor disana.

Ketika kelas pertama saya akan dimulai, saya gugup setengah mati. Sarah mengantarkan saya menuju aula yang akan saya pakai. Dalam perjalanan menuju aula, saya dan Sarah menghabiskan waktu bersama. Saya pikir, kalau hal ini akan menjadi waktu yang panjang. Saya tidak mempersiapkan apa pun untuk diobrolkan bersama dengan Sarah.

Saya langsung berpikir soal pertanyaan. Bukankah pertanyaan adalah cara agar kita bisa mendapat informasi dari orang lain?

"Coba ceritakan tentang keluargamu, Sarah."

Sarah tidak merespon pertanyaan saya.

"Apa pelajaran favoritmu? Apakah kamu punya makanan kesukaan?"

Sarah sama sekali tidak menggubris pertanyaan saya. Ketakutan kalau saya akan gagal itu semakin kuat dari dalam diri saya. Saya berpikir keras mengenai cara untuk membantu anak ini. Dia bahkan tidak mau berbicara kepada saya.

Butuh waktu seminggu sampai akhirnya saya memutuskan untuk bertemu dengannya lagi. Adegan itu kembali terulang. Pertanyaan apa pun yang saya ajukan, Sarah tidak akan merespon saya.

Saya gagal di kelas kedua. Sampai pada kelas ketiga, Sarah akhirnya menanggapi pertanyaan saya.

Bukan dengan sebuah jawaban, melainkan dengan ungkapan, "Kamu terlalu banyak bertanya."

Saya sangat terkejut mendengar jawabannya. Setelah kembali ke kondisi semua, saya langsung berkata bahwa untuk bisa membuat saya diam, maka Sarah harus menjawab setiap pertanyaan saya. Sejak saat itu, hubungan kami pun mulai memperlihatkan kemajuan.

Kami mulai mengobrol dan merayakan kemajuan yang dialami oleh Sarah di kelasnya. Sejak saat itu, Sarah menjadi pribadi yang lebih bisa berekspresi dan mengungkapkan apa yang ada di dalam pikirannya. Melihat kemajuan itu, tentu saja saya sangat senang. Perasaan saya saat itu seperti sedang melihat bunga yang ada dalam diri Sarah sedang bermekaran. Saya harap, suatu hari nanti, mungkin saya akan mulai mengenalkannya kepada Kristus.

Sarah kembali mengejutkan saya dengan pertanyaan bahwa dia ingin menelpon saya.

"Bisakah saya menelepon Ibu kalau saya butuh bantuan?"

Ungkapan itu menunjukkan kalau dirinya merasa aman ketika berada di sekitar saya. Saya setuju kalau Sarah boleh menelepon saya seminggu sekali. Seluruh staf di sekolah tidak percaya kalau Sarah benar-benar menelepon saya dan kami berdua bisa mengobrol lebih bebas tentang dirinya.

Dalam beberapa obrolan, Sarah menyebutkan kalau dirinya pergi ke sebuah gereja yang berada di sekitar rumahnya. Bahkan, dalam satu sesi telepon berikutnya, dia mengatakan kalau ia pergi ke gereja dan menerima Kristus, bahkan menerima baptisan kudus.

Pengumuman ini sangat menggembirakan buat saya.

Sarah adalah orang pertama yang saya mentori. Setelah itu, meski kini saya sudah lama tidak mendengar kabar darinya, tetapi Sarah selalu ada di hati dan doa saya. Saya sering merenungkan bahwa saya hampir mengatakan tidak pada hal-hal yang seperti ini.

Filipi 2:3-4, “Dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.”

Sudahkah kamu diberkati oleh orang lain? Kalau sudah, kini giliran kamu yang menjadi berkat buat orang lain!

Hak Cipta © 2014, Connie Coppins. Digunakan dengan izin.

Ikuti Kami