Seperti Tangisan Bayi, Berserulah Memanggil Tuhan Tanpa Henti
Kalangan Sendiri

Seperti Tangisan Bayi, Berserulah Memanggil Tuhan Tanpa Henti

Lori Official Writer
      3670

Mazmur 27: 4

Satu hal telah kuminta kepada TUHAN, itulah yang kuingini: diam di rumah TUHAN seumur hidupku, menyaksikan kemurahan TUHAN dan menikmati bait-Nya.


Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 100; Lukas 12; Yosua 11-12

Aku pernah nginap di rumah beberapa anggota gerejaku. Aku mendengar bayi mereka menangis dua kali sepanjang subuh ini yaitu pada pukul 3 dan 6.30 pagi. Mereka pasti ingin sekali momen saat bayi mereka bisa tidur sepanjang malam. Tapi, mereka sedang tidak dalam posisi itu.

Tangisan bayi itu terdengar hampir seperti sebuah alunan lagu yang memanggil orang tuanya, kedengarannya nggak terlalu menyenangkan, tapi alunan itu terus bergema.

Aku pun tetiba teringat dengan tangisan bayi-bayi yang pernah aku dengar di berbagai tempat. Di Minnesota, tempat aku dibesarkan selama sepanjang musim-musim panas dan dingin. Di Haiti, dimana banyak anak yang lahir di pondok berlumpur dan tanpa mengenakan celana. Di Jepang, dimana anak-anak dimanjakan dan di setiap tempat. Semua tangisan itu sama. Kaya atau miskin, Timur atau Barat, semua bayi memanggil orang tuanya dengan cara yang sama.

Semua anak besar dengan bahasa yang berbeda dan makan makanan yang berbeda. Pergi ke sekolah atau buta huruf, bekerja di gedung perkantoran atau memanen tanaman dengan sabit, hidup di bawah atap genteng atau jerami, mengendarai mobil, naik kereta api, atau menunggang keledai. Semua orang bisa terhubung dengan Tuhan, entah itu mereka yang percaya kepadaNya atau sama sekali tak mengenal Dia.

Di hari ketika seseorang meninggal, dia akan menangis dan tangisan itu mungkin tak diungkapkan secara lisan. Seruan akan kematian seperti panggilan anak kepada Bapa Surgawi. ‘Gendong aku’, ‘Selamatkan aku’ atau tangisan itu bisa jadi bentuk panggilan kegelisahan akan kehampaan yang tak terpahami.

Hidup kita mungkin akan sangat berbeda saat kita menjalaninya. Kita mengejar sesuatu yang berbeda, entah itu pencapaian, kekayaan bahkan kedermawanan. Lalu di akhir hidup, kita jadi lebih mirip, seperti saat kita masih bayi. Cara kita berseru di akhir hidup kita tergantung pada seberapa besar hasrat kita kepada Tuhan. Seperti dituliskan dalam Mazmur 84: 2, “Jiwaku hancur karena merindukan pelataran-pelataran TUHAN; hatiku dan dagingku bersorak-sorai kepada Allah yang hidup.”

Terkonek dengan Tuhan adalah satu hal yang sangat penting. Dia luar itu, aku sedang berpikir mungkin di mata Tuhan hidup yang kita jalani tak akan begitu berbeda. Mungkin saja kita hidup bergelimang kekayaan, atau dalam kemiskinan atau di tengah budaya yang sama sekali berbeda. Inilah dunia sekuler.

Mungkin baginya kesulitan dan kesuksesan kita nggak begitu penting. Aku berpikir, mungkin seperti orang tua, Tuhan mau mendengar kita memanggil Dia jauh sebelum kita lahir. Dia mengenali setiap suara dan merasakan setiap detak jantung kita. Dia rindu mendengar kita memanggil dan tak berhenti memanggil Dia sampai akhir hidup kita.

Mari renungkan sejenak ayat ini:

“Satu hal telah kuminta kepada TUHAN, itulah yang kuingini: diam di rumah TUHAN seumur hidupku, menyaksikan kemurahan TUHAN dan menikmati bait-Nya. Sebab Ia melindungi aku dalam pondok-Nya pada waktu bahaya; Ia menyembunyikan aku dalam persembunyian di kemah-Nya, Ia mengangkat aku ke atas gunung batu. Maka sekarang tegaklah kepalaku, mengatasi musuhku sekeliling aku; dalam kemah-Nya aku mau mempersembahkan korban dengan sorak-sorai; aku mau menyanyi dan bermazmur bagi TUHAN.” (Mazmur 27: 4-6)

Baik tua atau muda, kita adalah anak-anak Allah. Mari memilih untuk memanggil nama-Nya untuk setiap harapan kita, untuk memanggil Dia dengan iman dan pengharapan. Semoga panggilan kita jadi sebuah lagu yang indah di telinga Tuhan.

 

Hak cipta 2013 ditulis oleh Peter Lundell, dipakai dengan ijin.

Ikuti Kami