1 Yohanes 3: 1
Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa
kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah
anak-anak Allah.
Bacaan Alkitab Setahun: [kitab]Mazmu50[/kitab]; [kitab]Kisah22[/kitab]; [kitab]Imama10-11[/kitab]
Waktu istriku
melahirkan putra kami Noah lewat bedah sesar, aku ingat betul bagaimana dokter
dan timnya bekerja melakukan operasi itu. Darahku serasa berdesir saat menyaksikan
bagaimana dokter memasukkan tangannya ke dalam perut istriku dan mulai meraih
amandel bayinya. Aku sama sekali nggak bisa berbuat apa-apa. Saat itu, Tuhan seolah memposisikan aku dalam posisi sebagai seorang bayi.
Beberapa hari
kemudian aku menyaksikan sunatan bayi kami Noah. Dia menangis kesakitan. Dokter dan timnya menjelaskan kepada kami tentang langkah-langkah yang harus kami lalui untuk merawat anak kami.
Saat aku
menyaksikan apa yang dilakukan kepada anakku saat dia masih baru lahir, aku belajar
dua hal yang sangat penting: Pertama, rasa sakit dan tangisan tulus anakku. Kedua,
air mata yang pertama kalinya menetes dari bola matanya yang mungil. Bayi kami yang
masih berusia sebelas hari itu menjerit-jerit kesakitan. Tubuh kecilnya terbungkus
dan air meleleh di pipinya. Tak ada yang bisa aku lakukan. Anakku mungkin membutuhkanku
tapi aku sama sekali tak bisa menolongnya. Aku cuma bisa berdiri dan menonton penderitaan anakku di tangan orang lain.
Roh Kudus melayaniku
dan mengingatkan soal hal yang supranatural. Tuhan seperti menyampaikan, “Jeffrey,
apakah kau sekarang sudah paham soal apa yang aku lakukan saat orang asing menjatuhkan
anak Ku? Aku harus menyaksikan anak Ku menderita dengan cara yang tak
terpikirkan.” Pesan inilah yang terdengar dalam, tapi Tuhan kembali menyampaikan hal lain yang lebih bermakna.
Dia bilang,
“Aku tahu betapa kau mengasihi putramu dan bagaimana tangisannya telah melukai
hatimu. Tapi kamu tak akan bisa memahami betapa Aku begitu mengasihi putra Ku. Dan Aku merasakan air mata dan penderitaanNya demi kamu.”
Aku
memejamkan mata dan membaca Matius 27: 46, “"Eli,
Eli, lama sabakhtani?"* Artinya: /Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”
Noah sudah berusia
enam bulan sekarang. Aku menyadari kalau hari ini bahkan aku nggak lagi melihat
dia seperti seorang bayi. Aku menganggap dia sebagai anggota keluarga. Aku melakukan apapun untuk anak itu. Waktu dia lahir, aku bahkan rela mati untuk dia.
Tapi seiring
pertumbuhannya, kasihku ke Noah sudah berubah. Dalam artian, aku tidak lagi mengasihinya
secara berlebihan. Kasihku kepada dia 100% tanpa syarat, dan 100% memberikan apa
yang harus aku berikan. Hal ini sama seperti bagaimana Tuhan berlaku kepada
kita. Dia seakan mengatakan, “Aku mengasihimu meskipun kamu itu masih bayi.”
Aku teringat
dengan 1 Yohanes 3: 1 yang berkata, “Lihatlah,
betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut
anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah.” Aku mulai menyadari kalau Tuhan memakai Noah supaya dia bisa membantu mengangkat aku.
Karena kasih Allah begitu besar kepada manusia, Dia
rela mengaruniakan anak-Nya yang tunggal supaya semua orang berolah hidup yang
kekal