Jumat Agung, Dari Perspektif Tuhan Kita
Kalangan Sendiri

Jumat Agung, Dari Perspektif Tuhan Kita

Claudia Jessica Official Writer
      2345

Yesaya 53:5

Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.

 

Bacaan Alkitab setahun: Mazmur 106; Lukas 18; Yosua 23-24

Saya berharap saya akan pingsan atau jatuh begitu saja. Tetapi adrenalin yang dipicu kecemasan membuat saya tetap sadar saat mereka menyeret saya ke salib. Mereka menjatuhkan saya ke batang kayu dan semua perhatian tertuju pada penyiksaan yang saya alami. Saya tidak menahan tangan mereka untuk mendorong saya. Dikelilingi oleh algojo, saya hampir tidak bisa mendengar suara-suara para tentara yang sedang bersorak.

Seorang wanita berduka meneriakkan namaku diantara kebisingan itu. Apakah itu suara ibuku, Maria Magdalena?

Tentara yang berkerumun dengan riuh serta ratapan yang tersisa dari para korban yang sudah disalibkan lebih dulu menenggelamkan segalanya. Saya merasa tegang kembali ketika merasakan getaran dahsyat dari palu yang memaku kakiku di kayu salib ini. Bangsa Romawi melakukan penyaliban sebagai pekerjaan rekayasa, mereka melakukanya dengan tepat. Berdasarkan tinggi badan saya, mereka dengan mengukur dimana harus meletakkan kaki saya agar ketika mereka memalu kaki saya, saya dapat menopang tubuh ini dengan susah payah ketika salib akan diangkat. Mereka memastikan saya mati dengan perlahan.

Kemudian mereka merentangkan tangan saya lebar-lebar, membuat bahu kaya terkilir dan dengan cepat mereka menentukan dimana tangan saya akan diletakkan. Mereka menandainya, lalu membuat lubang, dan menyiapkan kayu untuk menerima paku yang akan menembus pergelangan tangan saya.

Dengan persiapan yang lengkap, sekarang mereka dapat mengangkat salib saya. Seorang tentara menarik tangan saya ke lubang yang telah mereka siapkan sebelumnya dan mencengkram kuat pergelangan tangan saya. Dua tentara lainnya menahan lengan saya yang lain. Yang lain mengambil palu dan paku besi panjang. Dadaku naik-turun mengantisipasi hal mengerikan yang akan segera terjadi.

Cinta.

Cinta yang menguatkanku. Ekspresi cinta terbesar saya untuk dunia. Mengapa saya menolak ini? Saya tidak menyerah. Ini adalah komitmen Allah kepada umat manusia dalam tindakan penyerahan diri yang terakhir.

Saya merasakan tusukan paku yang menyengat menusuk daging saya saat tentara itu menekannya ke dasar telapak tangan saya. Palunya terangkat dan tampak tertahan beberapa saat di udara lalu bergegas ke bawah dan terhubung dengan paku besar. Pukulan palu yang mendorong paku itu melalui tanganku, menembus syaraf, tulang rawan, tulang karpal, dan ke dalam paku palang menimbulkan rasa sakit di seluruh lenganku. Rasanya seperti meledak hingga ke otak. Saya terengah-engah dan mengerang. Tiga pon palu lagi menembakkan gelombang siksaan ke seluruh tubuhku.

Tanpa membuang waktu, mereka memaku tangan saya yang lain di atas kayu, menarik pergelangan tangan saya yang sudah terjepit ke paku yang ditambatkan. Saya mengatupkan rahangku. Darah mendidih melalui gigi saya dengan setiap napas.

Dalam siksaan yang menggetarkan pikiran yang tak tertahankan ini, saya bisa dengan mudah melolong untuk menghancurkan mereka langsung. Seolah-olah, saya memang menyerukan tindakan kuat Bapa saya atas mereka. Saya mengajukan tuntutan mendesak tentang mereka yang memaku saya ke kayu ini, serta pada mereka yang menghukum saya dengan nasib ini dan menyerahkan saya ke kejahatan yang begitu ekstrim.

“Ya Bapa, ampunilah mereka,” teriakku saat mereka memposisikan kakiku, satu di atas yang lain dan di atas tumpuan. Suara palu membawa paku besi menembus tulang dan rasa sakit yang menyakitkan dari kaki yang tertusuk kayu.

 “Mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34).

 

Renungan ini adalah kutipan dari In The Flesh – My Story: The first-person novel of Jesus oleh Michael Gabriele. Hak Cipta © 2017. Digunakan dengan izin.

Ikuti Kami