“Roti hasil tipuan sedap rasanya, tetapi kemudian mulutnya penuh dengan kerikil.”
Amsal 20:17
Bacaan Alkitab setahun: Mazmur 58; Markus 2; Imamat 26-27
Saya mengendap-endap sambil berjongkok diantara pintu kaca dan mesin cuci, mencoba agar tidak terlihat. Saya melihat samar-samar ada seekor hewan berbulu di sisi lain kaca, mengeong dan mempertontonkan posisinya yang hendak menyerang; telinga ke belakang dengan ekor yang turun.
Saya melirik sana sini, mencari tahu apa yang salah. Saya tahu kalau terdapat satu anak kucing yang hilang, saya bertekad untuk menemukan pelaku yang membawanya tersebut. Tiba-tiba, ada sekelebat bayangan yang nampak di dinding, secara spontan saya menunduk agar tidak terlihat. Dengan hati-hati saya mengintip dari tempat saya berdiri semula. Tidak butuh waktu yang lama untuk menjawab semua kecurigaan saya sebelumnya.
Pelaku yang mencuri satu bayi kucing sebelumnya tersebut sedang berjalan dengan keempat kakinya menyeberangi garasi rumah saya. Kemudian kucing tersebut melirik ke arah saya karena merasa diperhatikan, namun saya tidak berhasil terlihat karena ada kaca yang menutupi seluruh tubuh saya. Merasa aman, si pencuri bayi kucing tersebut kembali untuk mencuri bayi kucing yang lain.
Tidak lama, saya melihat kalau ibu kucing yang sedang menjaga anak-anaknya panik, mencoba membebaskan bayi yang sedang digendong oleh si pencuri. Pencuri berhasil kabur dengan satu anak kucing di rahangnya. Saya melesat keluar pintu dan bertekad untuk menyelamatkan anak kucing tersebut sebelum terlambat.
"Turunkan, jatuhkan!" Teriak saya sambil berlari. Namun pencuri anak kucing tersebut mengabaikan dan hilang dari pandangan saya karena berlari ke arah hutan. Saya mencoba untuk berlari dan mencari sosok pencuri kucing tersebut, namun kejadian tersebut sangat cepat dan kondisi saat itu gelap. Mereka hilang sesaat setelah pencuri tersebut berhasil mencapai hutan. Saya tidak lagi bisa mendengar suara tangisan bayi kucing yang sedari tadi merintih untuk diselamatkan.
Beberapa hari kemudian, pencuri kucing tersebut kembali, saya bisa melihat matanya yang sedih dan merasa bersalah. Ia meletakkan kedua anak kucing yang telah dicurinya. Namun, anak kucing tersebut tidak lagi bernapas. Ia mengeong dan meminta bantuan saya untuk menyelamatkan dua anak yang dicurinya tersebut, namun mereka telah terkulai tak berdaya.
Yang mengagetkan saya, ternyata pelaku adalah kucing milik saya sendiri, Cookie. Cookie merupakan seorang ibu dari dua anak kucing, saya tahu kalau Cookie sangat mencintai perannya sebagai seorang mama bagi anak-anaknya. Anak-anaknya ini telah tumbuh menjadi seorang ibu, yang artinya adalah Cookie mencuri cucunya sendiri!
Saya yakin kalau ia sangat menyukai perannya sebagai ibu, ia pernah mengadopsi anak kucing yang ditinggalkan tanpa ibu, kemudian membesarkannya bersama anak-anaknya sendiri. Beberapa waktu yang lalu, Cookie mengalami kehamilan palsu yang mungkin membuatnya terluka.
Saya tahu kalau Cookie tidak bermaksud untuk membunuh dua anak kucing yang telah dicurinya. Tetapi karena Cookie sudah cukup tua, sehingga ia tidak bisa lagi melahirkan anak-anak kucing yang manis lagi.
Dengan alasan inilah ia mencoba untuk mencuri anak-anak kucing yang lain dari induknya. Ia ingin mencintai dan membesarkan anak kucing tersebut seperti ia membesarkan anak-anaknya, jadi ia membuat sebuah sarang jauh di dalam hutan.
Ia tidak lagi muda, sehingga ia sudah tidak lagi bisa menghasilkan susu untuk bayi-bayi yang telah dicurinya tersebut. Sehingga cucunya - bayi-bayi kucing yang ia curi dari anaknya tersebut mati kelaparan.
Cerita diatas juga pernah terjadi pada pelayanan yang saya jalani. Saya merasa kalau pola pelayanan saya mulai berubah. Saya merasa tidak lagi mengalami nikmat atau berkat sukacita yang dulu saya terima dalam pelayanan. Saya sangat menyukai pekerjaan ini, namun saya sangat merindukan pelayanan yang dulu pernah saya lakukan.
Kesulitannya adalah ketika saya bisa melihat seseorang dalam satu pelayanan yang diberkati Tuhan melalui keturunan, sementara saya sendiri dikatakan mandul. Saya merasa sepanjang melayani, saya telah menjadi pelayan yang baik. Sehingga saat ini terjadi, saya merasa kalau Tuhan berlaku tidak adil dalam kehidupan saya.
Saya tergoda untuk memperlihatkan kalau ada sesuatu yang harus terjadi dalam kehidupan yang saya lalui ini. Sebagai seorang dengan latar belakang pemasaran, saya tahu bagaimana cara memanipulasi orang dan mengatakan kalau ada berkat Tuhan sedang terjadi dalam kehidupan saya. Namun, apakah hal ini dapat memuliakan nama Tuhan?
Saya sadar kalau Tuhan memberikan peringatan bagi setiap kita mengenai apa yang akan terjadi jika kita mengasihi berkat kita terima dibandingkan Ia yang memberikan berkat tersebut. Kita cenderung akan mengabaikan dan menolak setiap rencana yang telah Ia susun atas setiap kita.
Kita ingin terus menerus diberkati, sehingga kita merasa bisa mencuri berkat orang lain. Namun, karena berkat tersebut memang tidak ditujukan untuk kita, kita tidak bisa mempertahankan berkat tersebut. Itulah yang terjadi pada Cookie. Ada kelaparan, ada orang yang menderita dan kehilangan, sementara nama Tuhan tidak juga dipermuliakan.
Dalam Filipi 2:3-4, “dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.”
Apakah kita pernah merasa 'berhak' untuk mendapatkan berkat tertentu? Apakah kita iri kepada berkat yang diterima oleh orang lain? Apakah kita tergoda untuk memanipulasi orang atau keadaan agar seakan-akan kita lah yang seharusnya menerima berkat tersebut? Akankah Tuhan dipermuliakan jika kita melakukannya?