Bacaan Kitab Setahun: Mazmur 122; 3 Yohanes 1; Yehezkiel 46-47
Pernahkah Anda berada di posisi dimana Anda harus mengatakan sesuatu yang Anda ketahui itu salah, tetapi tidak Anda katakan karena merasa tidak enak hati? Bagaimana rasanya? Pastinya tidak enak karena pikiran dan hati nurani kita berperang ketika itu.
Sewaktu SMP, saya dikenal cukup baik oleh guru-guru saya. Bukan apa-apa, selain karena saya dilihat memang tidak macam-macam, prestasi dalam bidang akademik turut menunjang citra saya di depan mereka. Mereka begitu percaya dengan apa yang saya katakan. Suatu kali, teman sebangku saya dipanggil ke ruang guru oleh salah seorang guru yang mengajar di kelas kami. Ia disuruh menghadap karena dicurigai bahwa teman saya ini mencotek pekerjaan rumah seseorang. Saya tidak ada firasat ketika itu bakal turut dipanggil. Namun, tiba-tiba seorang teman dari kelas lain memanggil saya dan mengatakan bahwa saya harus ke ke ruang guru saat itu juga.
Jujur, pada saat itu saya bingung karena saya tidak merasa melakukan kesalahan apa pun. Singkat cerita, saya pun berada di depan ke dua laki-laki berbeda usia ini. Pak guru kami pun menanyakan kepada saya, apakah teman saya ini mencontek pekerjaan rumah saya. Pertanyaan itu sungguh sulit saya jawab saat itu karena yang sedang "didakwa" ini adalah teman saya, tetapi ada satu pertentangan dalam hati saya yang berkata untuk saya jujur. Tidak sadar lima menit berlalu dan guru saya masih menunggu jawaban saya. Anda tahu saya berkata apa sama guru saya? Saya katakan teman saya tidak mencotek pekerjaan rumah saya dan pak guru mempersilahkan kami berdua meninggalkan ruangan. Teman saya begitu senang dan berterima kasih atas apa yang saya lakukan. Tapi, saya tidak karena saya telah berbohong kepada guru saya.
Peristiwa tersebut masih teringat oleh saya selama beberapa tahun setelah saya lulus SMP. Rasa penyesalan timbul bila kenangan itu muncul dan Tuhan tahu akan hal tersebut. Dalam satu pertemuan ibadah, Tuhan menyentuh hati saya dengan kasih-Nya. Sentuhan ini membawa saya ke dalam pertobatan dan pemulihan. Peristiwa dimana saya berbohong kepada guru di waktu SMP itu pun sudah tidak lagi menghantui. Iblis tidak lagi berkuasa atas saya! Tuhan hari demi hari mengajar saya untuk hidup dengan jujur. Kasih-Nya yang tulus membuat saya mengerti apa itu kejujuran yang sejati.
Saat ini mungkin diantara Anda ada yang sedang bergumul untuk hidup jujur. Ada satu ketakutan ketika Anda akan melakukannya: takut akan ditinggalkan teman, takut akan menyakiti hati orang lain; takut tidak naik jabatan. Jika Anda berfokus kepada ketakutan-ketakutan, percayalah, Anda tidak akan pernah bisa hidup jujur. Oleh karenanya, mulailah serahkan ketakutan-ketakutan itu kepada Tuhan dan biarkan kasih Allah menguasai hidup Anda. Ketika kasih itu mengalir maka Anda akan dapat bercerita dengan jujur kepada Tuhan dan orang-orang yang Anda temui persis seperti yang Dia inginkan.
Berkata-kata dengan terus terang adalah bukti bahwa Allah tinggal di dalam hidup kita.