Bersandar Penuh pada Tuhan
Kalangan Sendiri

Bersandar Penuh pada Tuhan

Lori Official Writer
      17780

Amsal 3: 5-6 

Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.

 

Bacaan Alkitab Setahun: [kitab]Mazmu142[/kitab]; [kitab]Yohan2[/kitab]; [kitab]IISam11-12[/kitab]

Di usia 13 tahun, saya duduk di kursi pemeriksaan dokter mata. Dokter lalu memeriksa mata saya dengan sebuah senter. Lalu dia bergumam, “Hmmmm…” dan mulai bersandar di kursi. “Anda mewarisinya. Anda perlu bersiap-siap. Tidak ada obat untuk penyakit retina ini.”

Ayah saya memang mewarisi gen Retina Pigmentosa yang menyebabkan kerusakan pada retina, yang dalam banyak kasus, menyebabkan kebutaan. Saya pun mewarisi gen ini, meski kakak saya tidak. Di usia 55 tahun ayah saya pun benar-benar buta sepenuhnya, kondisi itu saya alami kemudian saat berusia 30 tahun.

Tentu saja saya mulai marah kepada Tuhan atas kegerian hidup yang saya jalani di sisa hidup saya dalam kegelapan. Hidup saya hancur, dan tirai hitam menyelubungi mimpi saya, suami dan ketiga anak kami.

Tetapi ketika saya mencari harapan dan kekuatan kepada Allah, Dia meresponi dengan membuka mata rohani saya pada sebuah pewahyuan yang baru. Ayah saya yang mewariskan gen RP mengingatkan saya tentang sesuatu yang berharga, yaitu tekad dan keuletan hidup.

Pada tahun 1964, sebelum pindah ke Amerika, kami tinggal di Bolivia. Ayah saya memutuskan melawan arus dan keluar dari kenyamanan di kampung halamannya. Dia dan ibu bekerja tanpa lelah untuk memenuhi persyaratan untuk proses Imigrasi ke AS.

Ayah pun berangkat ke Amerika sendirian. Dia menghadapi penghinaan, kesepian, ketidakberdayaan dan ketidakpastian sendiri. Dia mengalami ejekan karena kurang fasik berbahasa Inggris. Dan diapun berhasil mengumpulkan cukup uang untuk menyewa sebuah apartemen kecil, membeli eprabotan sederhana dari toko bekas dan membayar uang muka mobil. Sembilan bulan kemudian, ia mengirim tiket penerbangan untuk ibu, kakak dan saya. Dan kami sudah mulai hidup di Amerika.

Puluhan tahun kemudian, sebagai warga negara Amerika, saya melihat kembali kerja keras ayah. Dia mengajari saya tekad untuk bergerak maju ketika menghadapi kesulitan. Dia memberi contoh bahwa kerendahan hati penting untuk menggapai kesuksesan. Dia begitu berkomitmen dan memprioritaskan keluarga. Ayah mengajarkan saya tentang berani menghadapi kegelapan. Seperti seorang bayi yang belajar melangkah memegang erat tangan ayahnya. Ya, ayah saya memegang tangan Allah saat melangkah keluar dari kenyamanan hidupnya di Bolivia dan berani pergi ke negeri asing.

Saya pun melakukan hal serupa. Berpegang pada tangan Tuhan, firman-Nya berbisik: “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu (Amsal 3: 5-6)”.

Saya berjalan dengan percaya diri di jalan-Nya. Dia membimbing saya belajar memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah dan mencari transfortasi untuk anak-anak saya. Meskipun saya secara fisik buta, namun Dia memberi saya sukacita yang melimpah untuk tetap menjalankan peran saya sebagai ibu, guru sekolah minggu, penerjemah bahasa Spanyol di pengadilan, pembicara dan penulis.

Apa yang saya warisi dari ayah membantu saya melihat kehidupan dengan penghargaaan. Tapi yang saya terima dari Bapa Surgawi jauh lebih memperkaya saya dalam hidup. Dia memberi saya kekuatan untuk menghadapi tantangan dan berjalan di jalan-Nya. Dia memberi saya kepercayaan diri untuk menghadapi hari esok. – Janet Perez Eckles

 

Saat hidup terasa gelap mencekam, saat itulah kita perlu meraih tangan kuat Bapa Surgawi

Ikuti Kami