Seorang guru besar mengajar di tiga universitas terkenal di negaranya. Kita pasti yakin bahwa ia adalah seorang yang pandai, terhormat dan memiliki penghasilan tinggi sebagai hasil dari kedudukannya. Tapi yang mengagetkan, dia meninggalkan semua kehormatan dan profesinya untuk mengabdikan diri pada pelayanan sosial. Dia mengurus seorang muda yang cacat, mulai dari menyuapi, memandikan, sampai membuang kotorannya. Ketika ditanya oleh seseorang: "Mengapa Bapak melakukan semua ini, hanya demi seorang cacat?" Guru besar ini melontarkan jawaban yang mengharukan: "Bagi saya, walaupun dia cacat, dia seorang yang sangat berharga di hadapan Allah, maka layak bagi saya memberikan waktu saya untuk mendampinginya. Dia sangat berharga bagi saya."
Sanggupkah kita menyampaikan kalimat yang sama seperti guru besar tersebut? dia memandang seorang yang cacat sebagai pribadi yang berharga, sama seperti Allah memandangnya. Atau kita hanya mau mengasihi, menghargai orang yang sehat, pandai dan kaya? Hukum kedua yang Tuhan Yesus ajarkan adalah mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri. Sudahkah hati kita tersentuh melihat yang kekurangan, tangan kita terulur memberi bantuan dengan penuh kasih, apapun kondisi mereka? Sudahkah mulut kita berdoa bagi sesama yang sedang mengalami musibah?