Pernikahan bagi banyak orang diharapkan menjadi tempat untuk menemukan kebahagiaan hidup yang diidam-idamkannya. Namun ternyata harapan itu tidak pernah terwujud dalam hidup Kristanti. Setelah dia menikahi pria pilihannya, Kristanti menyesali semuanya dan merasa telah memilih pria yang salah.
"Dalam bayangan aku kalau orang menikah itu pasti enak, ekonomi cukup. Tapi kok aku selalu kesulitan uang ya... Aku menjadi kecewa, kesal, sering marah, sering berkelahi hanya soal uang. Aku merasa suami kok ngga mau cari uang dengan giat sehingga aku bisa hidup berkecukupan. Berbagai penyesalan muncul, kenapa kok aku kawin dengan orang seperti itu ya? Kenapa kok aku mau dengan orang yang tidak punya masa depan? Tidak punya pendidikan yang tinggi? Kenapa aku harus hidup seperti ini, tidak seperti yang aku bayangkan sebelum menikah? Aku geram.. Aku marah...," tutur Kristanti.
Kemarahan dan kekecewaan terhadap suaminya menguasai hati Kristanti. Dia menganggap sang suami tidak becus. Hal ini membuat Kristanti memutuskan untuk mengambil tanggung jawab yang seharusnya dipikul sang suami. Dia bekerja keras membangun suatu usaha untuk memperbaiki ekonomi keluarga dan sebagai sebuah pembuktian pada sang suami, namun semua itu membuat karakternya berubah total.
"Akhirnya aku usaha sendiri, wiraswasta katering. Pada waktu itu usahaku menjadi maju. Namun hal itu malah memunculkan karakter asliku yang keras, maunya marah-marah, maunya berkelahi, merasa tidak puas. Aku merasa kalau aku bekerja keras, aku pasti berhasil," lanjut Kristanti.
Kesuksesan yang dicapai oleh Kristanti tidak merubah sedikitpun karakter suaminya, bahkan semakin hari pertikaian di antara mereka semakin sengit dan sang suami menjadi semakin pasif.
"Aku sempat berkata pada suamiku, ‘aku bisa hidup tanpa kamu.' Aku katakan hal itu sambil menunjukkan jari kepadanya."
Rasa sakit hati dan kekecewaan Kristanti ternyata tidak hanya diluapkan pada sang suami, bahkan buah hatinya juga terkena imbas. Mereka seringkali juga menerima perlakuan yang keras dari Kristanti.
"Sama anak-anak aku juga keras, sehingga anakku jadi nakal. Bukannya aku arahkan, anakku itu aku marah-marahin. Kadang aku banding-bandingkan dia dengan anak-anak orang lain yang sudah berhasil. Bahkan dalam suatu kejadian, aku sedang menggoreng sesuatu, anakku datang minta uang. Aku marah dan bilang sama dia, ‘Pergi kamu! Aku siram loh dengan minyak ini! Aku bukan makan dari kamu ya... Aku bisa cari makan sendiri!'"
Apa yang didapatnya membuat Kristanti seperti di atas awan dan merasa kuat. Namun sebuah berita menghantam semua kesombongan dan kepercayaannya. Berbagai masalah datang secara bertubi-tubi seperti kutuk yang menghantui keluarganya.
"Pada suatu hari aku sedang mandi, dan di payudara sebelah kanan ada benjolan. Aku memeriksakan diri ke dokter, dan divonis kanker."
Saat itu dokter memberikan diagnosa bahwa Kristanti mengidap kanker payudara stadium tiga. Hal ini membuatnya sangat ketakutan.
"Saat aku mendengar vonis dokter itu, aku seperti disambar halilintar. Aku gemetaran, badanku lemas, seperti mau jatuh. Aku bilang sama kakakku, kalau aku sakit kanker pasti aku mati. Bagaimana dengan dua anakku ini. Aku pikir, pasti suamiku kawin lagi. Aku berikan anakku yang perempuan ini sama kakak. Anggap saja anak sendiri. Anakku yang perempuan ini baik kok.. Tapi yang lelaki ini sama siapa ya? Kakakku bilang, udah jangan ngomong kayak gitu, nanti juga kamu sembuh."
Di tengah-tengah kebimbangan, Kristanti akhirnya memutuskan untuk menjalani operasi pengangkatan payudara. Namun belum sembuh rasa sakitnya, sesuatu terjadi atas suaminya.
"Sesudah dioperasi, aku masih tetap keras. Aku masih tetap bebal. Hingga suatu hari ada telepon dari rumah sakit, memberitahu kalau suamiku kecelakaan. ‘Matanya Bu yang parah, badannya sih ngga apa-apa. Matanya sih yang kena, yang parah.' Perasaanku sedih, aku sendiri sakit belum sembuh, kok sudah kecelakaan lagi... Aku sudah merasa berdosa. Aku mulai bertanya-tanya dalam hati, ‘Dosa apa ya keluarga kita ini, kok masalah demi masalah datang bertubi-tubi. Dosa apa ya?' Aku merasa diskor sama Tuhan satu-satu, aku kehilangan satu payudara, dan suamiku kehilangan satu mata."
Tetapi kemalangan yang dialami oleh Kristanti dan keluarganya tidak berhenti di situ. Setelah dia sakit, suaminya kecelakaan, dan sempat mengalami kemalingan, sehingga usahanya pun bangkrut. Semua uangnya habis untuk biaya pengobatannya dan operasi sang suami.
"Tidak bisa terbayangkan betapa sedihnya aku saat itu, betapa kecewanya aku. Bahkan pernah muncul keinginan untuk bunuh diri. Aku pikir kalau aku mati, aku sudah tidak melihat apa-apa lagi. Tapi muncul dalam benakku, kalau aku mati anak-anakku dengan siapa ya..?"
Permasalahan demi permasalahan membuatnya terpaksa merendahkan diri. Namun ternyata hal ini malah menjadi awal titik balik kehidupannya.
"Aku sempat kerja sebagai pembantu hotel, dan digaji hanya tiga ratus ribu. Yang tadinya memerintah orang, sekarang diperintah orang. Aku juga pernah dimaki-maki oleh majikanku. Namun hal itu membuat aku bangun, aku sadar, kalau aku tidak boleh hidup seperti yang dulu lagi. Aku harus berubah."
Kristanti merasa sudah jatuh ke titik terendah hidupnya. Melalui ajakan seorang teman, dia mengikuti sebuah kegiatan rohani, dan ternyata melalui hal itu, Kristanti menemukan titik terang untuk keluar dari kemalangan-kemalangan yang dialaminya.
"Waktu aku dengar kotbah itu, aku sudah mengucurkan air mata. Waktu dipanggil siapa yang mau didoakan, aku yang paling pertama maju. Aku merasa sangat berdosa. Aku tahu, aku berdosa sama suamiku, aku galak sama suamiku. Aku pukul-pukul dadaku sambil berseru, ‘aku orang berdosa, aku orang berdosa, ampuni aku Tuhan.' Kemudian anakku datang memelukku dan bilang, ‘Ampuni aku, Mami.. ampuni aku, Mami..' lalu dia memeluk suamiku, ‘ampuni aku, Papi..ampuni aku, Papi..' dan aku pun lakukan hal yang sama, ‘Ampuni mami io... Kan saya bersalah toh.. karena aku tidak mendidik anakku dengan benar. Karena aku sibuk, karena aku ingin kaya, tidak memperhatikan anak, tidak ada kasih sayang. Dan mulai saat itulah kami saling memaafkan."
Perlahan tapi pasti, keluarga Kristanti mulai berubah menjadi keluarga yang harmonis. Saat ini mereka dapat merasakan arti dari sebuah keluarga yang sesungguhnya.
"Di balik kehancuranku, sakit penyakit, kecelakaan suamiku, kebangkrutan usahaku, kemalingan dan sebagainya, ada hikmahnya di balik semua itu. Hal itu membuat saya berubah, pandangan hidup berubah, pola hidup juga berubah, aku diubahkan. Bukan siapa-siapa yang mengubah aku, hanya Tuhan Yesus yang mengubah aku. Ternyata uang itu bukan segala-galanya, uang itu hanya pelengkap saja. Aku sekarang mulai bisa menomorsatukan Tuhan. Aku merasa Tuhan Yesus itu begitu mengasihi aku, Dia sangat baik. Dia luar biasa, Dia Tuhanku, Dia penolongku dan Dia juga penghiburku."
Sumber Kesaksian: Ibu Kristanti