Kisah Nyata Edwin Yahya : Rapuhnya Hati Si Penantang Maut

Family / 27 August 2012

Kalangan Sendiri

Kisah Nyata Edwin Yahya : Rapuhnya Hati Si Penantang Maut

Puji Astuti Official Writer
17704

Dalam segala kesempatan yang ia miliki, yang dipikirkannya hanya satu, bagaimana ia bisa membuat masalah yang dapat membuat gusar sang ayah. Inilah yang dilakukan Edwin sejak ia masih duduk dibangku SMP: mulai dari bolos sekolah, berkelahi, membuat keributan dengan guru, menggunakan narkoba, minum minuman keras bahkan melakukan free seks. Mengapa ia melakukan semua itu?

Sejak kecil Edwin di didik oleh ayahnya dengan kekerasan. Salah sedikit saja, hal itu membuat Edwin mendapat pukulan yang bertubi-tubi.

“Papa saya punya prinsip kalau laki-laki tidak boleh nangis. Kalau laki-laki harus kuat. Dan menurut papa saya, mendidik supaya saya kuat harus dengan tangan. Hal-hal kecil seperti saya harus tidur siang tapi saya curi-curi keluar, dipukulnya saya seperti melakukan kesalahan besar,” demikian Edwin mengungkapkan alasannya.

Rumah tidak pernah jadi tempat menyenangkan bagi Edwin. Ayahnya yang dulu bekerja sebagai manajer di sebuah night club selalu pulang pagi dan kadang dalam keadaan mabuk. Kekerasan sang ayah bukan hanya ia sendiri yang merasakannya, namun ibunya pun tak lepas dari tindakan brutal sang ayah. Pada suatu hari sang ayah yang dibawah pengaruh minuman keras mengamuk seperti kesetanan. Kepala ibunya di pegang kuat oleh ayahnya, hendak dibenturkan ke tembok, pada hal saat itu ibunya sedang hamil delapan bulan. Edwin yang masih berusia belasan tidak kuat melihat kejadian itu. Hatinya bergejolak ingin membela sang ibu, “Saya mengambil asbak, saya hendak pukulkan asbak itu ke kepala bapak saya. Tapi karena saya masih kecil, apa daya. Saat saya mau mendekat pada bapak saya, malah saya yang ditendang sama bapak saya. Saya merasa saya tidak bisa bela mami saya. Saya mengucap, ‘suatu saat nanti, saya akan balas tindakan papa.’ Waktu mengucap itu, shuut.. langsung hidup saya penuh dengan kebencian.”

Kejadian itu berujung panjang, nyawa ibu dan bayi yang dikandungnya berujung tanduk. Untunglah mukjizat Tuhan terjadi dan menyelamatkan ibu dan adiknya. Apa yang terjadi menjadi pukulan yang cukup keras bagi ayahnya dan mampu mengubah kehidupan ayah Edwin. Namun pertobatan sang ayah tidak dapat mengobati luka hati Edwin.

“Tapi kenyataannya seperti ini, pada waktu ayah saya bertobat, papa saya terlalu sibuk sekali. Yang saya rasakan sebagai anaknya, saya merasakan diabaikan. Masa-masa itulah saya buat sebagai masa membalas apa yang pernah papa saya lakukan. Yang paling gampang ya, bikin masalah aja. Bikin malu aja namanya dia.”

Sejak itu yang ia inginkan adalah kehancuran, sekalipun harus menantang maut.

“Ada suatu hal konyol yang pernah saya lakukan, yaitu bertaruh seberapa banyak bisa mengkonsumsi obat-obatan pada waktu itu. Saya tidak hitung berapa yang sudah masuk dalam tubuh saya, hingga akhirnya berdampak saya over dosis. Seluruh sistem motorik saya lemah, karena ada syaraf yang putus. Pada waktu itu dokter berkata, ‘Ini dampaknya, kalau nanti sadar bisa mengalami kelumpuhan.’ Pada waktu saya mendengar kata lumpuh itu, dalam hati saya waktu itu ketakutan. Saya berdoa, ‘Tuhan saya tidak mau lumpuh. Kalau Tuhan bisa sembuhkan saya, saya mau ikut Tuhan. Saya mau balik sama Tuhan.’ Itu yang saya ingat pada waktu itu.”

Namun janji sekedar janji, begitu sembuh dari over dosis, Edwin lupa dengan semua janjinya kepada Tuhan. Ia pun kembali kepada kehidupan lamanya.

“Suatu kali saya membuat masalah dengan seorang anak perempuan. Lalu orangtuanya akhirnya bermasalah denga keluarga kami, saya pikir itulah puncak dari kesabaran papa saya.”

Edwin tahu dirinya telah membuat masalah yang sangat besar. Tapi ia memiliki cara sendiri untuk mengatasinya. Ia pulang dalam keadaan mabuk, ayahnya yang sudah tidak tahan lagi dengan sepak terjang Edwin bertanya kepadanya, namun Edwin hanya diam. Beberapa kali sang ayah bertanya, Edwin hanya menatap tajam ayahnya dan tetap membisu. Ayahnya pun mencengkeram bajunya, menyeretnya serta melemparkannya ke tempat tidur. Tapi seperti menantang, Edwin bangun kembali dan dihadapinya ayahnya tanpa rasa takut sedikitpun.

“Disitu saya dengar dua suara,” demikian terang ayah Edwin, Gerry Yahya. “Di sini (kepala) hajar dia, pukul dia. Yang disini (hati) saya dengar, ‘Rangkul dia, katakan aku mengasihi kamu.’ Dan saya berkata demikian sama dia, ‘Lebih baik papa pukul kamu, daripada Tuhan yang pukul kamu!’ Saya rangkul dia, saya lihat matanya langsung redup. Akhirnya kami berduet, kami sama-sama menangis. Dan saya berkata, ‘Papa mengasihimu.’”

Disitulah, Edwin membuat pernyataan yang tidak pernah ia ungkapkan sebelumnya, “Pa, maafin aku. Aku juga mengasihi papa.”

Namun usai kejadian itu, tidak berarti hidup Edwin berubah. Orangtuanya yang sebelumnya terus menerus menasehatinya, mengubah taktiknya. Setiap kali Edwin pulang kerumahnya, papa dan mamanya mengucapkan kata-kata iman seperti, “Eh, anak baik. Anak papa pulang. Anak pintar pulang.” Edwin yang tidak terbiasa dengan hal ini, merasa sangat aneh atas sikap orangtuanya. “Saya bikin masalah kok dibilang anak baik, anak pintar, anak Tuhan..? Padahal saya masih bermasalah.”

Namun penolakan Edwin tidak terlalu lama. Saat ia melihat teman-temannya mulai mempersiapkan diri untuk kuliah, ia mulai resah akan masa depannya nanti. Dalam keresahan dan kesendiriannya itu, sesuatu yang diluar akal manusia Edwin alami. “Saat itu menuju jam dua belas malam, ada satu sinar yang sepertinya masuk melalui pintu kamar saya. Ada suatu sinar yang terang sekali langsung menghujam ke wajah saya. Ada satu suara yang sangat audible dan sangat jelas sekali, suara itu berkata ‘Edwin sampai kapan engkau mendukakan aku? Walaupun engkau jauh meninggalkan Aku, Aku Yesus Tuhan tetap mengasihi kamu.’ Pada waktu saya dengar suara itu, saya seperti tertemplak luar biasa.”

Hari itu Edwin sadar bahwa kejahatannya dimasa lalu bukan hanya telah menyakiti hati orangtuanya namun juga telah mendukakan hati Yesus. Sebuah tekad dibuat oleh Edwin, ia ingin mengubah kehidupannya. Sejak hati itu, ia benar-benar berubah 180 derajat. Bukan saja tidak pernah kembali kepada narkoba, free seks dan tawuran, Edwin juga mulai rajin berdoa dan mempelajari firman Tuhan.

Edwin telah membuat keputusan yang benar dengan mengampuni ayahnya dan berbalik mengikuti Yesus dengan sungguh-sungguh. Kini Edwin hidup dalam kemaksimalan bagi Tuhan dan bagi orang lain. “Saya sudah menerima anugrah, saya sudah menerima keselamatan, saya sudah menerima kesempatan ke dua untuk saya bertobat dalam hidup saya. Buat saya, Yesus adalah Juru Selamat, tapi Yesus juga Tuhan atas hidup saya.” 

Sumber Kesaksian :

Edwin Yahya

Sumber : V120824142325
Halaman :
1

Ikuti Kami