Satu kejadian yang tiba-tiba seringkali mengubah kehidupan menjadi tidak sama lagi selamanya. Itulah yang menimpa keluarga Handoko. Minggu, 25 April 1999 seseorang menelepon ke rumah keluarga Handoko dan mengatakan bahwa Happy, puterinya, mengalami kecelakaan. Saat tiba di lokasi kejadian, Handoko menemukan tubuh putrinya Happy terbujur di mobil Teddy, teman pria Happy yang mengajaknya nonton malam itu. Saat itu juga Happy dilarikan ke rumah sakit terdekat, yaitu RS Graha Medika. Namun ketika Handoko membopong tubuh Happy turun dari mobil, Happy sudah tidak bernyawa.
Happy Trinita, putri bungsi keluarga Handoko baru menginjak usia 18 tahun ketika maut menjemputnya. Sosoknya yang lincah dan periang membuat ia disukai keluarga dan teman-teman. Namun sayang di usianya yang belia Happy tewas secara mengenaskan oleh teman dekatnya sendiri yang sudah dikenalnya sejak kecil. Dengan alasan mengajak nonton, diam-diam Teddy sudah merencanakan akan memperkosa Happy begitu orang suruhannya berhasil membius Happy dengan berpura-pura menjadi perampok. Namun di luar dugaan zat kloroform yang dipakai untuk membius ternyata membuat Happy tewas seketika itu juga.
Inge, istri Handoko berada di Medan saat kejadian itu berlangsung. "Saya mendapat panggilan telepon pada pukul 11 malam dari adik saya. Dia menanyakan kapan saya pulang. Aku tanya kenapa. Adik saya menjawab tidak ada apa-apa hanya Happy sedang sakit dan diopname. Saat itu saya merasa bahwa sesuatu terjadi dengan anak saya. Saya hanya bisa menangis dan berlutut berdoa mohon petunjuk kepada Tuhan tentang apa yang terjadi di rumah dan apa yang sebenarnya terjadi dengan Happy. Saya begitu tertegun ketika Tuhan memperlihatkan satu peti jenazah putih dan ada foto putri saya di atasnya. Hanya satu yang aku minta kepada Tuhan: "Apabila penglihatan yang tadi Kau berikan benar, beri kekuatan pada saya".
Setibanya di Jakarta, Inge seperti sedang bermimpi di siang bolong. "Saya melihat anak saya benar-benar terbujur di peti jenazah putih dan ada foto di atasnya. Semua mengira saya akan menangis berguling-guling. Namun air mata saya sudah habis pada saat di Medan dan di dalam pesawat. Begitu saya melangkahkan kaki ke Jakarta, Roh Kudus bekerja dan Tuhan menggenapi janjinya menguatkan saya".
Kepergian Happy menjadi pukulan berat buat keluarga Handoko. Teddy dan 2 orang temannya berhasil diamankan dan diancam dengan hukuman penjara. Keluarga Teddy mencoba untuk melakukan upaya damai dan beberapa kali berusaha menemui keluarga Happy untuk minta maaf. Namun selalu ditolak. "Mereka bilang ini yang terbaik. Saya bilang bagaimana bisa bahwa anak kami dibunuh dan meninggal adalah yang terbaik? Saya benar-benar tidak habis pikir," ujar Handoko. Begitu pula Inge. Ia sependapat dengan suaminya. "Teman-teman saya mengatakan saya harus berdoa untuk Teddy supaya saya bisa mengampuni. Enak, ya mengatakan begitu? Namun bagi kami untuk berlutut dan berdoa serta mengatakan: "Tuhan ampuni Teddy" adalah hal yang sangat sulit. Saya seperti melihat TV dan melihat kehidupan anak saya setiap hari".
Enam bulan lamanya Handoko dan Inge hidup dalam tekanan. Untunglah atas saran putranya, Inge akhirnya membuat keputusan untuk melepaskan pengampunan untuk pembunuh putrinya. "Saya bilang pada suami saya, ini saatnya kita mengampuni. Mungkin keadaan keluarga kita kacau karena kita belum bisa mengampuni dan kenapa setiap malam kita berdoa, Tuhan belum juga jawab. Hati kita selalu tidak damai sejak anak kita pergi".
Keputusan Inge dan suaminya ternyata masih harus diuji. "Tuhan benar-benar mau melihat, apa benar saya mau mengampuni dari hati atau dari mulut saja? Sekarang Teddy dibawa dan berada di depan mata saya. Kaki saya sampai gemetar dan sejenak tidak bisa jalan. Begitu ketemu anak itu, saya dekati dia dan saya peluk. Di situlah kuasa Tuhan bekerja luar biasa. Saya benar-benar bisa mengampuni dan saya peluk dia dan dia menangis. Ini luar biasa! Saya merasa plong dan tidak ada beban lagi."
Teddy dan kedua temannya akhirnya dibebaskan dari tuntutan. Sejak itu hari-hari berkabung Keluarga Handoko berganti menjadi hari-hari yang penuh pengharapan. "Tuhan menolong saya dan saya bisa menempatkan Teddy sebagai anak saya. Tuhan membuat saya mengerti bahwa ketika kita mengampuni orang yang menyakiti kita, kita bukan saja menolong orang itu tetapi kita memulihkan diri kita sendiri. Dan karena saya mengampuni orang yang membunuh anak saya, batin saya juga Tuhan pulihkan," ujar Inge. (Kisah ini sudah ditayangkan 8 Februari 2011 dalam acara Solusi Life di O Chanel)
Sumber kesaksian: Inge & Handoko Trenggono