Dr Paul Tournier, seorang psikiater dan penulis terkenal asal Swiss pernah menulis kalimat berjudul ‘dialog orang tuli’.
Begini isinya:
“Mustahil
untuk terlalu memaksakan keinginan besar untuk didengarkan oleh manusia, diperhatikan dengan mendalam dan untuk dipahami.
Gak ada
yang bisa berkembang dengan bebas di dunia ini dan menemukan kehidupannya secara utuh tanpa merasa dipahami oleh setidaknya satu orang saja.
Dengarkan percakapan dunia kita, antar bangsa dan antar pasangan.”
Bacalah kata-katanya dengan baik. Apakah membuatmu terasa
tertohok? Apakah kata-kata itu seolah mendikte diri kita sendiri? Ini adalah keinginan yang banyak orang idamkan.
Kita suka didengarkan karena kita suka berbicara. Tapi kata-kata
Tournier mengingatkan kita untuk mengambil posisi untuk memiliki keterampilan yaitu mendengar.
Menjadi pendengar bukan hanya sekadar mendengar. Bukan hanya sekadar
tersenyum dan menganggukkan kepala saat seseorang berbagi tentang pikiran dan
perasaannya. Bukan hanya diam saja tapi bisa mengumpulkan sesuatu yang bisa disampaikan kembali.
Mendengar itu adalah hal yang sulit. Karena dibutuhkan dua orang
untuk berdialog dua arah yaitu pembicara dan pendengar. Pendengar bukan hanya mendengar tapi juga menimpali apa yang didengarnya.
Seperti contoh, anak-anak biasanya mengekspresikan perasaan mereka.
Jauh di lubuk hati mereka yang rapuh, anak-anak punya segudang pertanyaan dan pemikiran
untuk dibagikan. Tapi karena orangtuanya sangat sibuk sepanjang hari, anak pun tak punya kesempatan untuk mengutarakan semua rasa penasarannya.
Bayangkan kalau anak-anak ini adalah orang-orang yang belum mengenal
Tuhan? Padahal ada banyak pertanyaan dan rasa penasaran yang terbersit dibenak mereka soal injil. Apakah kita akan mengabaikan mereka karena kesibukan kita?
Tentu saja injil kebenaran Tuhan harus dibagikan. Salah satu caranya adalah dengan menjadi pendengar. Seorang pendengar memang harus meluangkan waktu untuk mendengarkan dengan sabar dan merespon dengan tenang. Dan itulah pengorbanannya.
Baca Juga:
Suka Nanya ‘Orang Kristen Kok Kelakuannya Buruk?’, 6 Alasannya Ini Jadi Jawabannya…
Buat Para WL, 7 Cara Ini Bisa Bantu Kamu Pilih Lagu yang Tepat di Ibadah
Mari kembali kepada kisah Yesus saat berbicara dengan wanita
di sumur (Yohanes 4). Dia bisa saja menyerang wanita tersebut secara verbal.
Tapi Yesus tidak melakukannya. Dia malah mendengarkan dengan tenang. Dia melihat
dengan jelas ada raut kecemasan di wajah wanita itu dan merasakan ada beban
rasa bersalah di dalam hatinya. Saat wanita itu mulai berbicara, Yesus masuk ke dalam jiwa wanita itu.
Sikap Yesus akhirnya membuat wanita ini menjadi lebih
terbuka. Uniknya, dia malah tidak merasa dipaksa atau merasa malu dengan apa yang
diperbuatnya. Kuncinya adalah bahwa Yesus mau jadi pendengar. Dia mempelajari setiap kata-kata wanita itu, setiap ungkapannya. Bahkan nada suaranya.
Jadi, apa yang dibutuhkan untuk jadi pendengar yang baik? Jadilah
peduli. Sediakan waktu. Jauhkan ego dan fokuslah. Miliki kepekaan, toleransi, sabar
dan mau mengontrol diri. Dan yang paling penting, berikan ruang bagi seseorang
untuk berbicara. Seorang pendegar jangan mengambilalih posisi sebagai pembicara yang mendominasi sebuah percakapan.
“Telinga
yang mendengar dan mata yang melihat, kedua-duanya dibuat oleh TUHAN.” (Amsal 20: 12)
Kita hanya dua telinga. Dua mata dan satu mulut. Dan hal ini memberitahu
kita bahwa kita memang harus lebih banyak mendengar daripada berbicara. Hari
ini, apakah kamu mau memutuskan untuk menjadi pendengar yang baik? Apakah kamu mau
mendengarkan pasanganmu daripada terus berbicara? Apakah kamu mau jadi teman yang
mau mendengar? Apakah kamu mau jadi orang Kristen yang mau melayani orang-orang
yang belum mengenal Tuhan hanya seperti apa yang Yesus lakukan?
Jangan biarkan orang-orang di luar sana melakukan dialog dengan
seseorang yang tuli. Mereka membutuhkanmu. Mereka membutuhkan kita!