Sebagai manusia,
sejak kecil kita sudah mendapatkan perlakuan dan pendisiplinan dari orang tua, mendapat penilaian dari guru, hingga menerima gaji dari hasil pekerjaan kita.
Tetapi nyatanya,
segala yang kita terima tersebut hanya melumpuhkan identitas kita sebagai anak
yang telah beroleh kasih karunia Tuhan. Kita tumbuh dengan pola pikir bahwa kita
melayani Tuhan, sebagaimana kita memposisikan diri sebagai budak atau karyawan,
dan bukan sebagai anak. Kita merasa harus bekerja ekstra untuk mendapatkan penjagaan
dan perlindungan dari Tuhan. Kita tidak percaya tentang perlindungan surgawi dan kehidupan kekal yang sudah ditawarkan kepada kita sebagai hadiah.
Dengan pola
pikir ini, kita kehilangan otoritas yang sudah diwariskan Tuhan kepada kita sebagai
anak-anak Nya. Kitab Galatia secara keseluruhan berbicara tentang godaan dan kompromi
untuk menyangkali Injil dengan memperlakukan Tuhan sebagai guru, dan bukan seorang Bapa.
Sementara dalam
Galatia 4: 4-7 dikatakan bahwa setelah Allah mengutus anak-Nya yang Tunggal,
Allah telah menerima kita sebagai anak dan bukan lagi hamba. “Jadi kamu bukan lagi hamba, melainkan anak;
jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah.” (Galatia 4:7).
Sebagai
anak Tuhan, kita aman dari bahaya mengerikan yang mengancam. Kita memiliki Bapa
yang senantiasa mengawasi kita, yang mengetahui kebutuhan kita, yang mengalahkan kematian bagi kita dan berjanji untuk memberikan rasa aman.
Menjadi bagian
dari keluarga Allah berarti menikmati hubungan antara Bapa-Anak. “Dan karena kamu adalah anak, maka Allah telah
menyuruh Roh Anak-nya ke dalam hati kita, yang berseru: “ya Abba, ya Bapa!” (Galatia 4: 6).
Dengan cara
yang sama seperti Allah mengutus Yesus ke dunia untuk membebaskan kita dari
hukuman, Ia juga mengirimkan Roh Anak-nya ke dalam hati kita yang penuh dosa untuk menjadikan kita sebagai anak-anak-Nya.
Melalui Roh
Kudus, Allah sendiri ada di dalam kita, mengikat kita di dalam Dia, menjadikan kita
miliknya, dan memberikan kita akses kepada Bapa Surgawi lewat doa, dan kita
akan selamanya berhadapan muka dengan muka di dalam kekekalan. Melalui Roh
Kudus, Ia memberikan kita kepercayaan diri dan kebebasan untuk menangis di
hadapan Tuhan. Dia meyakinkan kita bahwa Allah benar-benar mengasihi kita. Roh
dalam diri kita memohon sebagai seorang anak, dan bukan sebagai hamba. Jadi,
sebagai anak, keintiman kita dengan Bapa berarti sebuah kasih yang mendalam, kokoh,
dan tidak menilai berdasarkan kinerja kita. Kita benar-benar dikenal dan dikasihi.
Dalam Galatia
4:1, Paulus membandingkan derajat antara anak dengan hamba. Ia menyebut anak
sebagai ‘pemilik dari segala sesuatu’. Dia berbicara tentang anak-anak pada umumnya,
tetapi dia juga mengartikan hal itu sebagai makna dari menjadi ‘anak-anak Tuhan’. Semua yang Allah miliki akan diberikan kepada semua anak-anak tebusannya.
Meski
demikian, Paulus memperingatkan agar manusia jangan bermegah atas dirinya
sendiri, sebab segala sesuatu adalah milik kepunyaan Allah sendiri (baca 1 Korintus 3:21-23).
Harta terbesar
yang akan kita warisi adalah Allah itu sendiri. Dia adalah harta yang paling
berharga, paling memuaskan, dan di dalam Kristus, kita adalah umat-Nya dan Dia adalah
Allah kita (Wahyu 21: 3).
Karena kita
adalah anak, marilah hidup dengan mental sebagai anak-anak Raja yang bertahta atas
langit dan bumi. Anak-anak yang mewarisi segala kuasa dan kemampuan yang
daripada Allah sendiri.