Hingga Maut Memisahkan….

Marriage / 8 June 2016

Kalangan Sendiri

Hingga Maut Memisahkan….

Lori Official Writer
5702

Pada hari pernikahanku, aku ingat saat itu mobil pengantin berhenti di depan apartemen kami. Teman-teman memaksaku menggendong istriku keluar dari mobil. Lalu aku menggendongnya masuk ke dalam apartemen. Dia tersipu malu. Saat itu, aku adalah seorang pengantin pria yang bahagia.

Itu adalah kejadian 10 tahun yang lalu.

Hari-hari berikutnya berjalan biasa saja. Kami memiliki seorang anak. Aku menjadi seorang manager yang berusaha menghasilkan uang lebih. Ketika memperoleh kenaikan jabatan dan tanggung jawab di kantor meningkat, kasih sayang antara aku dan istriku sepertinya mulai berkurang.

Istriku seorang karyawan. Setiap pagi kami pergi bersama dan pulang hampir di waktu yang bersamaan. Anak kami bersekolah di sekolah terkemuka. Kehidupan pernikahan kami terlihat bahagia, namun kehidupan tenang seperti itu tampaknya lebih mudah mengalami perubahan yang tak terduga.

Lalu seorang wanita bernama Jane hadir dalam kehidupanku.

Hari itu hari yang cerah. Aku berdiri di balkon apartemen yang luas. Jane memelukku dari belakang. Sekali lagi, hatiku seperti terbenam dalam cintanya. Apartemen itu, aku belikan untuknya. Aku tahu, aku telah mengkhianati istriku.

Aku menurunkan tangan Jane dan berkata, “Kamu perlu memilih beberapa furnitur, Oke? Ada yang perlu aku lakukan di perusahaan.” Dia terlihat tidak senang, karena aku telah berjanji akan menemaninya melihat-lihat furnitur untuk apartemen barunya.

Sesaat, pikiran untuk bercerai menjadi semakin jelas walaupun sebelumnya tampak mustahil. Bagaimanapun juga, akan sulit untuk mengatakannya pada istriku. Tidak peduli selembut apapun aku mengatakannya, dia akan sangat terluka. Sejujurnya, dia adalah seorang istri yang baik. Pernah suatu hari aku bertanya pada istriku dengan nada bercanda, “Kalau misalnya kita bercerai, apa yang akan kamu lakukan?”

Dia menatapku beberapa saat tanpa berkata apapun. Kelihatannya dia seseorang yang percaya bahwa perceraian tidak akan terjadi. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksinya kalau dia tahu bahwa aku serius tentang hal ini.

Keesokan harinya, ketika istriku datang ke kantor, Jane langsung keluar. Hampir semua pegawai melihat istriku dengan pandangan simpatik dan coba menyembunyikan apa yang sedang terjadi ketika berbicara dengannya. Istriku seperti mendapat sedikit petunjuk. Dia tersenyum lembut kepada bawahan-bawahanku. Tapi aku melihat ada perasaan luka di matanya.

Ketika pulang malam itu, istriku sedang menyiapkan makan malam. Aku genggam tangannya dan berkata, “Ada yang ingin aku bicarakan.” Dia duduk dan makan dalam diam. Lagi-lagi, aku lihat perasaan luka dari matanya.

Aku tidak bisa membuka mulutku. Tapi aku tetap harus mengatakan, “Aku ingin bercerai.” Aku mulai pembicaraan dengan tenang. Dia sepertinya tidak terganggu dengan kata-kataku, sebaliknya malah bertanya lembut, “Kenapa?”

Aku menghindari pertanyaannya. Hal ini membuatnya marah. Dia melempar berteriak padaku, “Kamu bukan seorang pria!”

Malam itu, kami tidak saling bicara. Dia menangis. Aku tahu, dia ingin mencari tahu apa yg sedang terjadi di dalam pernikahan kami. Tapi aku sulit memberikan jawaban yang memuaskan, bahwa hatiku telah memilih wanita lain, Jane. Aku tidak mencintainya lagi. Aku hanya mengasihaninya!

Dengan perasaan bersalah, aku kemudian membuat perjanjian cerai yang menyatakan bahwa istriku bisa memiliki rumah kami, mobil kami serta 30 persen dari harta kekayaan pribadiku. Dia melirik surat itu dan merobek-robeknya. Lalu ia menangis di depanku.

Dua hari kemudian, dia menyerahkan syarat perceraian. Dia tidak menginginkan apapun dariku, hanya menginginkan perhatian selama sebulan sebelum perceraian. Dia minta dalam satu bulan itu, kami berdua harus berusaha hidup sebiasa mungkin. Alasannya sederhana, anak tunggal kami sedang menghadapi ujian sekolah dalam sebulan itu dan dia tidak mau mengacaukan pikiran buah hati kami dengan kabar perceraian orangtuanya.

Aku setuju saja dengan permintaannya. Namun dia minta satu hal lagi. Dia minta selama 1 bulan setiap hari, aku menggendongnya keluar dari kamar ke pintu depan setiap pagi, seperti hari pernikahan kami dulu. Pikirku, “dia sudah mulai gila.” Aku terima saja permintaannya yang aneh itu, karena ingin membuat hari-hari terakhir kami lebih mudah diterima olehnya.

Aku beritahu Jane tentang syarat perceraian istriku. Dia tertawa keras dan berpikir hal itu berlebihan.

Aku dan istriku sudah lama tidak melakukan kontak fisik sejak keinginan untuk bercerai mulai terpikirkan olehku. Jadi, ketika aku menggendong di hari pertama, kami berdua tampak canggung. Namun anak kami bertepuk tangan di belakang kami. Katanya, “Wahhh... Papa gendong Mama!” Entah kenapa, kata-katanya membuat aku merasa terluka.

Aku menggendong istriku dari kamar ke ruang tamu, lalu ke pintu depan. Aku berjalan sejauh 10 meter dengan mendekap erat wanita yang aku nikahi itu. Dia menutup mata dan berbisik, “Jangan bilang anak kita ya tentang rencana perceraian ini.” Aku mengangguk, merasa sedih. Aku menurunkannya di depan pintu. Dia pergi menunggu bus untuk bekerja. Aku sendiri naik mobil ke kantor.

Hari kedua, kami berdua lebih mudah melakukannya. Dia bersandar di dadaku. Aku bisa mencium wangi dari pakaiannya. Aku tersadar, sudah lama aku tidak sungguh-sungguh memperhatikan istriku. Aku sadar dia sudah tidak muda lagi. Ada garis halus di wajahnya, sebagian helaian rambutnya sudah memutih. Pernikahan kami telah membuatnya susah. Sesaat aku terheran-heran dan berpikir, apa yang telah aku lakukan padanya?

Hari keempat, ketika aku menggendongnya, aku merasa kedekatanku dengannya seperti kembali lagi. Wanita ini adalah seorang yang telah memberikan 10 tahun kehidupannya padaku!

Hari kelima dan keenam, aku sadar rasa kedekatan kami semakin bertumbuh. Aku tidak mengatakan ini pada Jane. Seiring berjalannya waktu, semakin mudah menggendongnya. Mungkin karena rajin olahraga membuatku semakin kuat.

Suatu pagi, aku melihat istriku sedang memilih pakaian yang dia ingin kenakan. Dia coba beberapa helai pakaian, tetapi tidak menemukan yang pas. Dia menghela nafas, “Pakaianku semua jadi kebesaran.”

Tiba-tiba aku tersadar bahwa dia menjadi jauh lebih kurus. Inilah alasan aku bisa menggendongnya dengan mudah. Aku terpukul. Dia telah memendam rasa sakit dan kepahitan luar biasa di hatinya. Tanpa sadar, aku menyentuh dan membelai rambutnya.

Anak kami datang melongok ke dalam kamar dan berkata, “Pa, sudah waktunya menggendong Mama keluar.” Bagi anak kami, melihat ayahnya menggendong ibunya keluar menjadi suatu hal yang indah dan penting dalam hidupnya. Istriku melambai pada putra kami, kemudian memeluknya erat. Kemudian aku kembali menggendong istriku, dari kamar ke ruang tamu, ke pintu depan. Tangannya memeluk leherku dengan lembut. Aku menggendongnya dengan erat, seperti ketika di hari pernikahan kami.

Berat badannya yang semakin ringan membuatku sedih. Pada hari terakhir dalam bulan itu, ketika aku menggendongnya, sulit bagiku untuk bergerak dan berkata-kata.

Aku kemudian pergi menemui Jane dan berkata padanya, “Maaf, Jane, aku tidak ingin menceraikan istriku.” Dia menatapku dengan heran, menyentuh keningku. “Kamu demam?” tanyanya. Aku menyingkirkan tangannya. “Maaf Jane, aku bilang aku tidak akan bercerai.” Kehidupan pernikahanku selama ini terasa membosankan mungkin karena aku dan istriku tidak melihat dan menilai segala detail kehidupan kami, bukan karena kami tidak saling mencintai lagi. Sekarang aku sadar, sejak aku menggendongnya di hari pernikahan kami, aku harus terus menggendongnya sampai maut memisahkan kami.

Jane menamparku keras sekali dan membanting pintu sambil menangis. Aku pergi dari apartemennya dan berangkat bekerja.

Petang harinya, ketika menyetir pulang ke rumah, aku mampir ke toko bunga untuk memesan satu buket bunga yang indah untuk istriku. Penjualnya bertanya, apa yang ingin aku tulis di kartu. Aku tersenyum dan menulis, “Aku akan menggendongmu setiap pagi, sampai maut memisahkan kita.”

Aku sampai di rumah dengan buket bunga di tanganku dan senyum di wajahku. Aku berlari ke kamar lantai atas dan melihat istriku terbaring tenang di tempat tidur. Dia sudah meninggal.

Istriku ternyata telah melawan kanker selama berbulan-bulan dan aku terlalu sibuk dengan Jane sampai tidak memperhatikan perubahan yang terjadi padanya. Dia tahu dia akan segera meninggal. Dia hanya ingin menyelamatkanku dari reaksi negatif anak tunggal kami, seandainya kami jadi bercerai. Setidaknya, di mata putraku, aku adalah ayah serta suami yang penuh cinta kasih.

Pesan untuk para pembaca. Hal-hal kecil di dalam kehidupanmu adalah yang paling penting, khususnya dalam suatu hubungan. Bukan rumah besar, mobil, atau uang di bank. Semua itu memang sangat menunjang kehidupan kita, tapi tidak bisa memberikan kebahagiaan itu sendiri. Jadi, carilah waktu untuk menjadi teman bagi pasanganmu dan lakukan hal-hal kecil bersama untuk membangun kedekatan itu. Milikilah pernikahan yang sungguh-sungguh dan bahagia!

Sumber : Andriewongso.com/jawaban.com/ls
Halaman :
1

Ikuti Kami