Dendam Pada Ayah, Mario Sengaja Merusak Diri
Sumber: jawaban.com

Family / 27 July 2015

Kalangan Sendiri

Dendam Pada Ayah, Mario Sengaja Merusak Diri

Theresia Karo Karo Official Writer
14727
Mario Verona, menganggap sekolah sebagai rumah kedua. Bahkan dia lebih dekat dengan teman-teman di sekolah dibandingkan dengan kedua orang tuanya. Tidak hanya itu, hubungan Mario dengan Sang ayah tidak pernah layaknya orang tua dan anak. Kasarnya sikap ayah, kerap membuat Mario benci dan menyimpan dendam.

Dirinya merasa, bahwa hanya nenek yang dekat dengannya. Akibatnya, sekolah menjadi tempat pelampiasan dan 'kejatuhannya'. Bukan sebagai tempat untuk menimba ilmu, Mario justru menjadikan sekolah sebagai tempat merokok dan menggunakan obat-obatan terlarang. Tidak ingin hancur sendiri, Mario juga ikut menjerumuskan teman-teman sekolahnya.

Saat di sekolah kelakuannya di luar batas, namun sikap yang bertolak belakang ditunjukkan saat bersama oma. “Kalau di  sekolah kaya setan, kalau di rumah ketemu oma, ya kaya malaikat kaya anak baik-baik”. Oma sempat memesankan agar Mario membahagiakan orang tua, menjadi anak yang berbakti, dan menunjukkan keberhasilannya, karena tidak selamanya oma bisa menemaninya. Omongan ini terasa asing di dengarnya, seperti berpamitan.

Suatu saat Mario ketahuan merokok, papinya langsung memukulinya. Mulai dari tamparan, gesper, rotan hingga menggunakan selongong motir membuatnya babak belur. Ia merasa seperti maling yang ditangkap massa. “Itu adalah titik di mana saya benar-benar dendam  dan benci sama papi saya, dan saya bersumpah sampai mati kalau saya ga akan tegur dia”.

Ketika Mario berkumpul bersama temannya, ia mendapat kabar bahwa oma dalam keadaan kritis. Tidak bergeming, ia tetap memilih bermain. Hingga akhirnya Mario pulang dan mendapati oma sudah tidak lagi bernyawa. Hatinya sangat hancur, ia bahkan berpikir kenapa oma yang dipanggil, kenapa tidak mami atau papinya saja. “Saya muak, saya benci sama Tuhan. Disitu saya ngomong sama Tuhan, mulai hari ini hidup saya akan menghancurkan hidup saya.”

Beberapa tahun setelah oma meninggal, papi Mario juga dipanggil Tuhan. Hingga saat itu Mario memang tidak menegur papinya. Bahkan saat di kuburan, dia memainkan foto memorial papinya yang kemudian ditegur oleh kerabatnya. Mario mengakui bahwa saat itu ia merasa senang. Kehidupan bebas yang dijalaninya, tidak serta merta membuatnya merasa bebas.

“Ada satu suara di hatiku, yang mengatakan bahwa Tuhan mengasihi hidup saya.” Walaupun di waktu bersamaan ‘daging’nya turut berkata dalam hati bahwa ini hal yang menyenangkan dan manusiawi. Perseteruan dalam hati membuatnya bingung, lagi hati berkata bahwa keterikatan ini yang membuat terjerumus dalam kebinasaaan. Muncul perasaan mual, najis, jijik, dan kata-kata itu tetap terngiang. “Tuhan Maha Pengasih, Dia pasti akan mengampuni kamu. Tapi Tuhan ga mau dipermainkan, apa yang kamu tabur itu yang kamu tuai.” Tiba-tiba Mario langsung menangis sejadi-jadinya.

Pernah dia datang ke gereja, tetapi merasa tidak mendapatkan manfaat apapun. Sampai satu saat ia akan pulang ada suatu perasaan bahwa ada Satu Pribadi yang bisa mengubah hatinya. Hati Mario juga berbicara pada Tuhan, bahwa dia mau berubah. “Di situ saya mengalami lawatan Tuhan saat saya maju.” Tetapi perubahan tidak langsung semudah yag dibayangkannya. Godaan datang saat melihat teman-teman lain sedang ‘nyabu’. Daging tetap memberontak dan ingin kembali, tetapi satu sisi ada yang mengingatkan. Akhirnya ia memilih keluar dan pergi meninggalkan teman-temannya.

Selama hidupnya, Mario kepahitan ke mami dan terutama papi, tapi saat ini ia sangat menyesalinya. Mariana C.Siauta, mami Mario juga senang dengan perubahannya yang jauh lebih baik. “Sekarang dia jadi anak yang baik dan mau bertobat, tidak pernah menyusahkan orang tua dan bisa mandiri, lemah lembut beda dengan yang dulu. Pokoknya saya sayang sama Mario.” Mario pun mengambil komitmen untuk hidup baru dan minta ampun ke mami.

“Untuk keluar dari pintu permasalahan, saya tidak perlu mencari pelarian yang lain karena pelarian yang lain hanya akan membawa saya dalam kehancuran dan sia-sia.” Mario menyadari bahwa tempat yang paling sempurna untuk menceritakan segala sesuatunya adalah hanya di dalam Tuhan. “Saya salah, saya pikir saya ga akan pernah keluar dari pintu kekangan itu.” Hanya keinginan kuat yang bisa mendobrak pintu itu.

 
Sumber : Mario Verona
Halaman :
1

Ikuti Kami