Peringati satu tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra) berikan rapor merah di bidang anggaran. Pihaknya beranggapan bahwa Tri Sakti ekonomi kabinet kerja hanya sekedar janji kampanye.
Dilansir dari Tempo.com (20/10), Apung Widadi manajer advokasi Fitra menyoroti tujuh nilai merah terkait politik anggaran yang dianggap belum berpihak pada rakyat.
1. Politik anggaran APBNP 2015 dan RAPBN 2016 masih dikelola untuk kepentingan elit dan dana infrastruktur dianggap belum berorientasi pada infrastruktur kerakyatan. “Anggaran untuk belanja publik atau sosial juga rendah seperti kesehatan yang belum mencapai amanat konstitusi 5 persen dari APBN,” ungkap Widadi dalam keterangan resminya.
2. Penyerapan anggaran yang rendah turut mempengaruhi kesejahteraan rakyat. “Belanja pemerintah hanya mencapai 47 persen per September 2015 dari total 1.318 Triliun,” jelasnya.
3. Selanjutnya adalah meningkatnya defisit anggaran. Akibat target penerimaan pajak yang rendah, sebesar 49,2 persen dari Rp 1.761 triliun, pembiayaan luar negeri juga membengkak hingga Rp 800 triliun. Selain itu, Widadi juga mengatakan bahwa hutang pemerintah mencapai Rp 4000 triliun atau dua kali lipat dari APBN. “Dampak hutang ini tidak akan lunas hingga 100 tahun Indonesia merdeka dengan nilai jatuh tempo sebesar 191 triliun pada 2054,” jelasnya.
4. Nilai merah keempat menyoroti kerugian negara yang naik dari Rp 1,4 triliun di 2014 menjadi Rp 2,2 triliun. Menurut Fitra, dari hasil audit BPK diketahui bahwa Kementerian Keuangan menyumbang kerugian negara hingga Rp 111,5 miliar dengan potensi kerugian negara Rp 248 miliar serta penerimaan negara yang berkurang hingga Rp 3,7 triliun.
5. Fitra juga menilai pengelolaan BUMN sebagai sapi perah politik. Terkait hutang bank BUMN Mandiri, BNI, BRI, BTPN senilai Rp 40 triliun dengan komitmen Rp 500 triliun. Ditambah dengan peran Menteri BUMN Rini Soemarno, yang menurut Widadi, tidak transparan dan akuntabel dalam APBNP 2015 dan RAPBN 2016.
6. Terkait RUU Pengampunan Pajak, Fitra beranggapan bahwa hal ini merupakan bentuk penghianatan terhadap pembayar pajak, yakni rakyat Indonesia dan kekalahan negara terhadap koruptor.
7. Menurut Fitra, Presiden Jokowi seakan tunduk dalam negosiasi Freeport. Hal ini dianggap bertentangan dengan semangat Tri Sakti Soekarno, Nawacita, serta UUD 1945 pasal 33, terkait pengelolaan sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat.
Tidak dipungkiri, selama satu tahun pemerintahan Jokowi-JK banyak peristiwa dan masalah yang terjadi di Indonesia. Namun, bagaimanapun juga mereka adalah pilihan kita, pilihan rakyat Indonesia. Pemerintahan yang baru berjalan satu tahun ini bukan berarti menjadi ukuran berhasil atau tidaknya sebuah kepemimpinan. Sebab masih ada empat tahun yang menanti di masa yang akan datang.
Apakah artikel ini memberkati Anda? Jangan simpan untuk diri Anda sendiri. Ada banyak orang di luar sana yang belum mengenal Kasih yang Sejati. Mari berbagi dengan orang lain, agar lebih banyak orang yang akan diberkati oleh artikel-artikel di Jawaban.com seperti Anda. Caranya? Klik disini.
Sumber : Seknasfitra/Tempo.co by tk