Normalkah 'Puber Kedua’?
Sumber: Google

Marriage / 23 June 2015

Kalangan Sendiri

Normalkah 'Puber Kedua’?

Theresia Karo Karo Official Writer
5674
Puber kedua dikenal juga dengan istilah krisis paruh baya, yang merupakan fenomena perubahan yang dialami seseorang saat memasuki usia tertentu. Banyak dari kita yang mengira bahwa puber kedua hanya dialami oleh para pria. Namun pada kenyataannya, wanita juga merasakan hal yang serupa, tepatnya di usia 37 sampai 50 tahun.
 
Evan Garey, psikolog asal Ukrida menyebutkan bahwa ‘puber kedua’ pada pasangan menikah disebabkan oleh tiga hal:
  1. Perubahan karena banyaknya waktu luang setelah anak dewasa.
  2. Perubahan fisik atau hormon.
  3. Perubahan sosial atau perubahan struktur keluarga. Misalnya kematian anggota keluarga.
Semua perubahan yang kerap memicu ‘puber kedua’ ini merupakan hal yang wajar terjadi dan dialami semua orang. Bertambahnya umur, akan membuat orang-orang semakin tua.

Menurut Garey, yang terpenting adalah menyiapkan diri untuk menjalaninya, menciptakan perubahan, dan berinovasi dalam hidup. Karena bisa saja perubahan ini akan berdampak negatif dan menyebabkan stres yang cukup tinggi.

“Bisa jadi penyebabnya berkaitan karena tidak mampu melihat peluang yang ada, tidak bisa melakukan sesuatu, atau mau melakukan sesuatu tapi sumber dayanya tidak mendukung karena tidak punya uang,” paparnya.

Dikatakan bahwa krisis paruh baya bisa memicu stres, meskipun begitu, jangan abaikan pasangan. Berusahalah untuk tetap fokus dalam hubungan pernikahan. “Itulah pentingnya membangun kebahagiaan dalam kehidupan suami istri. Agar banyak kenikmatan yang diperoleh baik secara fisik atau mental,” ungkap Garey.
 
Hal yang berbeda mungkin terjadi pada wanita. Sebagian besar wanita yang mengalami ‘puber kedua’ seperti menopause, cukup mampu melewati masa ini dengan baik. Mereka tidak merasakan sakit, kaku, atau bersikap dingin terhadap pasangan.

Saat pasangan mengalami ‘puber kedua’, yang terpenting adalah penerimaan atas hal ini. Garey mengungkapkan bahwa pasangan harus mampu memahami apa yang terjadi. Hindari perasaan khawatir dan curiga yang berlebihan, apalagi sampai menekan pasangan untuk melarangnya melakukan perubahan.

Sebaliknya, pekalah terhadap perubahan yang terjadi. Jangan sampai perubahan ini justru menjadi ‘nightmare’ bagi pasangan suami istri. Asalkan perubahan yang dilakukan positif dan cukup wajar, tidak ada salahnya untuk mendukung pasangan bukan? Jangan langsung menganggap ‘puber kedua’ sebagai hal yang menyedihkan, karena bila dilihat secara positif hal ini justru bisa memicu kebahagiaan.

“Seiring bertambahnya waktu luang, tidak mengurus anak kecil lagi, pasangan malah bisa melakukan hal-hal yang disukai bersama-sama. Sehingga masa-masa kebahagiaan pun kembali diraih seperti di awal pernikahan. Tentu saja harus menjalankan aktivitas bersama-sama sehingga kebahagiaan akan terwujud,” jelas Garey.

Ketahuilah bahwa ‘puber kedua’ merupakan bagian dari kehidupan normal. Peristiwa ini merupakan transisi normal menuju step berikutnya. Hal yang sama juga diungkapkan teori psikolog asal Yale, Daniel Levinson. Bahwa semua orang dewasa akan melalui serangkaian tahapan dalam hidupnya.

Anda diberkati dengan artikel ini, yuk share artikel ini di Facebook-mu dan ajak teman-temanmu untuk re-share link artikelnya. Semakin banyak yang re-share, semakin keren hadiahnya. Keterangan lebih lanjut, KLIK DI SINI.
Sumber : Kompas/Jawaban.com by tk
Halaman :
1

Ikuti Kami