Sementara tempayan yang utuh mampu membawa air penuh hingga tiba di rumah si tukang air. Tentu saja si tempayan utuh merasa bangga akan prestasinya karena dapat menunaikan tugasnya dengan baik. Sebaliknya, si tempayan retak itu tampak sangat malang. Ia merasa malu sekali akan ketidaksempurnaan dirinya dan merasa sedih dengan kemampuannya yang tidak maksimal.
Lalu ia pun bertanya kepada si tukang air, “Saya sungguh malu pada diri saya sendiri, dan saya ingin mohon maaf kepada Anda”.
“Kenapa?” tanya si tukang air. “Kenapa kamu merasa malu?” tanyakan kembali.
“Saya hanya mampu, selama dua tahun ini, membawa setengah porsi air dari yang seharusnya dapat saya bawa karena adanya retakan pada sisi saya yang membuat air yang saya bawa bocor sepanjang jalan menuju rumah majikan kita”.
“Karena cacat itu, saya telah membuat kerugian,” terang si tempayan malang.
Si tukang air pun merasa kasihan pada si tempayan retak, lalu mencoba menunjukkan simpatinya. “Jika kita kembali ke rumah besok, aku ingin kamu memperhatikan bunga-bunga indah di sepanjang jalan”.
Lalu mereka beranjak menaiki bukit, dan si tempayan retak barulah menyadari bahwa ada bunga-bunga indah yang tumbuh di sepanjang sisi jalan. Ia pun mulai terhibur. Meski rasa sedih masih tetap bercongkol dalam hatinya, lagi-lagi separuh air yang dibawanya telah terbuang dalam perjalanan.
Namun si tukang air menyapanya dan berkata, “Apakah kamu memperhatikan adanya bunga-bunga di sepanjang jalan di sisimu seperti di sisi jalan lainnya? Itu karena aku selalu menaydari akan cacatmu dan aku memanfaatkannya”.
“Aku telah menanam benih-benih bunga di sepanjang jalan di sisimu. Dan setiap hari jika kita berjalan pulang, air yang tertumpah dari retakanmu mengairi benih itu sehingga tumbuh hari demi hari dan berbunga. Selama dua tahun ini aku telah memetik bunga-bunga indah itu unruk dijadikan hiasan meja di rumah. Tanpamu sebagaimana kamu ada, hiasan bunga itu tak akan pernah menjadi hiasan yang indah di rumah,” terang si tukang air.
Kisah ini mengisahkan perspektif tentang cara pandang seseorang akan kekurangan atau cacat yang dimilikinya. Manusia ibarat tempayan retak, yang kadang kala memiliki kekurangan dan kelemahan. Lalu merasa tidak layak dan menyesali hal itu sebagai hal terburuk yang pernah dimilikinya. Namun jika kita menyadari, Tuhan peduli dengan kekurangan kita. Seringnya, Ia menggunakan kekurangan itu untuk tujuan memberkati orang lain.
Jadi, jangan minder dengan kekurangan Anda. Terima dan syukurlah itu sebagai sarana keindahan Tuhan.
Sumber : Inspirasidaily.com/jawaban.com/ls