Kita semua mafhum bahwa kekudusan adalah karakteristik yang penting. Kita pun menghendaki agar anak kita memiliki karakteristik tersebut. Pertanyaannya adalah, darimanakah anak belajar untuk hidup kudus dan tulus?
Nah, jika anak belajar berjalan dan makan dari orang tua, tentulah anak belajar hidup kudus dari orang tua pula. Singkat kata, anak belajar kekudusan dari kekudusan kita, orang tuanya. Berikut akan dipaparkan dampak kehidupan yang kudus pada anak.
Setidaknya ada tiga dampak kekudusan orang tua pada anak.
PERTAMA, SEWAKTU KITA HIDUP KUDUS, ANAK DIINGATKAN BAHWA DI TENGAH DUNIA YANG KOTOR, MASIH ADA ORANG YANG HIDUP KUDUS. Oleh karena kita dilahirkan dalam dosa, maka dorongan alamiah pada diri kita adalah untuk berdosa. Dan, oleh karena kita hidup di dalam dunia yang telah tercemar oleh dosa, maka arah hidup kebanyakan orang di dunia adalah menuju dosa pula.
Itu sebabnya makin anak bertumbuh dewasa, makin ia harus bersentuhan dengan dosa. Makin ia bertumbuh dewasa, makin sering ia berhadapan dengan pilihan menaati Tuhan atau berdosa. Nah, di titik genting ini, penting bagi anak untuk diingatkan bahwa di dunia masih ada orang yang hidup kudus yaitu kita, orangtuanya. Jika anak tidak dapat melihat kita sebagai orang yang hidup kudus, maka makin melemah pulalah dorongan dan tekadnya untuk hidup kudus.
KEDUA, SEWAKTU KITA HIDUP KUDUS, ANAK PUN BERKESEMPATAN UNTUK BELAJAR BAGAIMANA HIDUP KUDUS. Makin anak dewasa dan bertemu dengan beragam manusia, makin besar godaan untuk menyamaratakan semua orang sebagai orang berdosa. Masalahnya adalah, manakala kita menyimpulkan bahwa tidak ada seorang pun yang sempurna, maka makin besarlah godaan untuk mengatakan bahwa tidak mungkin kita dapat hidup kudus.
Anak perlu tahu bahwa bukan saja masih ada orang yang hidup kudus, tetapi juga bahwa ia pun dapat hidup kudus. Nah, untuk itu ia perlu belajar bagaimana hidup kudus dari kita. Sudah tentu pelajaran pertama hidup kudus adalah melihat contoh konkret hidup kudus. Sewaktu anak melihat kesetiaan kita kepada Kristus dan keluarga, ia melihat hidup kudus. Sewaktu ia melihat kesungguhan kita melayani Tuhan, ia melihat kekudusan. Sewaktu ia melihat kejujuran kita, ia pun melihat kekudusan.
Selain dari melihat, anak pun perlu mendengar bagaimanakah kita menghadapi pencobaan. Kita semua adalah manusia yang terbuat dari darah dan daging yang telah tercemar oleh dosa, itu sebabnya kita dapat dicobai dan mungkin sekali, kita pun pernah jatuh ke dalam dosa. Nah, sesuai dengan usia dan kondisi kehidupan anak, bagikanlah pengalaman hidup bergumul dengan dosa. Ceritakanlah kekalahan dan kemenangan kita agar anak mengerti dengan realistik bagaimanakah ia pun dapat mengatasi pencobaan.
Tatkala anak mendengar pengalaman kita bergumul dan menghadapi pencobaan dosa, bukan saja ia akan dikuatkan untuk bertahan, ia pun mungkin akan dapat menemukan jalan keluar yang dibutuhkannya. Ia pun diingatkan bahwa ia pun manusia sama seperti kita dan bahwa kenyataan ia tergoda, tidak berarti bahwa ia terlebih buruk dari kebanyakan orang. Sebab ternyata, pergumulannya tidak jauh berbeda dengan kita semua.
KETIGA, SEWAKTU KITA HIDUP KUDUS, ANAK MELIHAT INDAHNYA DAN SUKACITANYA HIDUP DALAM KEKUDUSAN. Kadang orang beranggapan bahwa hidup kudus adalah hidup yang menyedihkan. Anggapan ini amatlah keliru ! Hidup kudus adalah hidup yang membahagiakan karena hanya di dalam kekudusan terdapat sejahtera.
Hidup dalam kekudusan membuat kita jauh dari kecemasan. Kita tidak perlu menyembunyikan diri dan kita bisa hidup dengan merdeka. Hidup dalam kekudusan membuat kita sejahtera sebab tidak ada konsekuensi dosa yang tengah menanti. Hidup dalam kekudusan membawa kebahagiaan bagi Tuhan dan ini membuat hati bersukacita. Sewaktu anak melihat “manfaat” hidup kudus, ia pun lebih terdorong untuk mengikuti jejak kita hidup kudus.
Firman Tuhan
Mazmur 84:12 berkata, “Sebab Tuhan adalah matahari dan perisai; kasih dan kemuliaan Ia berikan; Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela.” Inilah janji Tuhan kepada kita yang hidup kudus—hidup tidak bercela. Ia akan melimpahkan kita dengan kebaikan, kasih dan kemuliaan.
by. Pdt. Dr. Paul Gunadi (TELAGA.org)