Aturan dalam Peraturan Pemerintah (PP) pasal 31, memuat atutran yang melegalkan aborsi. Hal ini menuai kontroversi di masyarakat Indonesia. PP Nomor 61/2014 tentang kesehatan reproduksi menyebutkan, bahwa tindakan aborsi dapat dilakukan atas dasar kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan. Ketentuannya adalah aborsi dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari sejak hari pertama haid terakhir.
Menanggapi hal ini, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) keberatan dengan kebijakan legalisasi aborsi ini. Pendeta Andreas A. Yewangoe berpendapat seharusnya ada jalan lain selain melegalkan aborsi.
“Saya kira mesti ada jalan keluar lain selain melegalkan aborsi. Kandungan tak bisa digugurkan karena itu anak pemberian Tuhan.” Dirinya menilai bahwa aturan ini sebaiknya dipertimbangkan kembali oleh pemerintah, karena anak hasil pemerkosaan memiliki hak untuk dilahirkan.
Sebagai Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi mengungkapkan bahwa dirinya sebagai umat Katolik tidak akan melakukan aborsi seumur hidup. Tetapi saat dia menempatkan dirinya sebagai Dokter dan Menkes, dia berkewajiban menyampaikan informasi terkait PP tersebut kepada masyarakat.
“Soal dosa atau tidak, itu urusan dia dengan Tuhan. Saya tidak bisa menentukan apakah dia dosa atau tidak karena saya bukan Tuhan. Karena itu, dia harus ada pendampingan dari Pastor untuk bisa melakukan eksta konseling. Karena intervensi itu sendiri sangat menggoncangkan jiwanya, makanya dia membutuhkan pendampingan yang luar biasa,” ujar Nafsiah Mboi.
Pro dan kontra mengikuti peraturan pemerintah ini. Berdasarkan ajaran agama, tindakan aborsi sangat bertentangan. Akan tetapi bila dikaitkan dengan HAM, berbeda lagi hasilnya. Peraturan ini dibuat karena negara menghormati hak asasi wanita, agar dia tidak dikorbankan dua kali.
Baca Juga: