Kita semua tidak bisa bersatu hanya karena kita semua sepakat mengenai suatu hal, bahkan kita semua tidak akan pernah bisa sepakat satu sama lain tentang segala hal. Saya rasa tidak ada suami dengan istri dan anak-anak yang sepakat dalam segalanya. Tapi kita belajar untuk sepakat dalam mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.
Saya menemukan fakta dari setiap khotbah yang saya adakan mengenai kemarahan, sakit hati, maupun perselisihan dimanapun saya berkhotbah, ada 7—8 dari 10 orang yang selalu mengacungkan tangannya dan bermasalah dengan hal-hal itu. Jadi saya merasa yakin, betapa pentingnya kita harus berjalan di dalam kasih. Yang saya katakan adalah kasih yang sejati. Kasih yang berkorban, kasih yang memberi, kasih yang menjaga. Jenis kasih yang membuat kita akan melakukannya tanpa syarat.
Di Matius 24 dikatakan tanda-tanda dari akhir jaman ini akan banyak orang yang tersinggung. Bicara tentang kelaparan, tentang perang, tentang gempa bumi dan kita sudah dengarkan itu semua. Namun tanda dari akhir jaman adalah akan ada banyak orang yang tersingkir, dan terjatuh. Kasih kebanyakan orang pun akan menjadi dingin. ([kitab]Matiu24:6-11[/kitab])
Menurut saya, tidak ada lagi khotbah yang lebih penting lagi untuk didengarkan (selain tentang kasih), yang membuat hati kita bebas dari bentuk ketersinggungan, amarah, kepahitan, atau penolakan atau dari segala jenis segala hal penolakan untuk mengampuni. Alkitab mengajarkan kepada kita, “Ampunilah kami seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami.”
Mungkin doa itu didoakan secara agamawi setiap minggu di berbagai gereja di seluruh dunia. Tapi jika kita ingin Tuhan mengampuni kita sama seperti kita mengampuni orang yang bersalah kepada kita, maka kita harus bersedia mengampuni mereka secara cepat dan total.
Kadang kita mengampuni sedikit, tapi kita tetap membangun tembok di sekeliling kita. Kadang kita mengampuni sedikit, tapi kita tetap membicarakan kejelekan mereka. Bukan itu jenis pengampunan yang kita inginkan agar Tuhan mengampuni kita. Bagaimana jika Tuhan hanya mengampuni kita hanya seperti kita mengampuni orang lain? Kalau itu yang terjadi, maka banyak di antara kita dalam masalah besar.
Selama ini saya bertahun-tahun pergi ke gereja dengan suami saya. Jika kami sedang bertengkar, maka kami pergi dalam keadaan marah. Ketika kami bertemu dengan seseorang di gereja, kami langsung pasang senyum seperti tidak terjadi apa-apa. Saya menyebutnya “tampang gereja”. Kita semua punya tampang gereja dan “tampang rumah”. Di mobil kita marah-marah, tapi begitu ketemu orang yang menyambut kita di pintu gereja, “Puji Tuhan, terima kasih Tuhan, haleluya…”
Hal itu bukan merupakan kehidupan agamawi sejati. Kasih yang sejati lebih dari sekedar kata-kata, lebih dari sebuah teori, lebih dari sebuah pesan, tapi merupakan sebuah tindakan. Tidak peduli betapa marahpun saya terhadap seseorang, kasih menuntut saya untuk mengampuni orang.
Mungkin langsung terdengar kata-kata, “Ini tidak adil. Anda tidak tahu apa yang dia lakukan padaku?” Tapi Tuhan adalah Tuhan yang adil dan Dia pembela kita. Tuhan yang berkata, “Pembalasan adalah milik-Ku dan Aku yang akan membalasnya.”
Jadi jika engkau mengampuni seseorang yang bersalah kepadamu, engkau tidak melakukannya untuk kepentingan / keuntungan orang tersebut tapi untuk dirimu sendiri. Saudara sedang membebaskan dirimu sendiri. Sebab jika saudara marah-marah, saudara sedang tersiksa. Saudara bisa saja marah-marah begitu lama sehingga saudara tidak menyadari bahwa saudara masih marah. Karena itu, ingatlah bahwa ketika kita mengampuni, kita menguntungkan diri kita sendiri.
Sumber : jawaban.com by lois horiyanti