Sebagai pemimpin kelompok gang, ayah German sangat disegani di daerahnya. German pun sangat bangga pada ayah yang begitu mengasihinya itu. Hingga suatu hari sang ayah hendak merantau ke Jakarta bersama ibunya.
“Kamu mau tinggal sama namboru kami disini atau ikut sama bapak sayang,” demikian tanya sang ayah kepada German.
“Namboru saya itu sayang sama saya dan selalu minta saya tinggal sama mereka,” itulah alasan German menjawab kepada sang ayah bahwa ia memilih tinggal bersama namborunya selama sang ayah mencoba peruntungannya di Jakarta.
“Ketika mereka naik kendaraan bus, disitu saya merasa tidak akan lagi berjumpa dengan orangtua saya,” ungkap German.
Firasat German benar, beberapa waktu kemudian seseorang datang membawa sebuah kabar buruk kepada tantenya.
“Ada orang datang mencari tante saya, lalu mereka pergi ke kamar. Lalu tiba-tiba saya dengar tangisan dan jeritan seperti telah terjadi sesuatu.”
Sang tante keluar dari kamar dan memeluk German sambil menangis. Ia memberi tahu German bahwa sesuatu yang sangat buruk telah menimpa ayahnya.
“Bapakmu dibunuh orang Man..” ucap tantenya sambil menangis histeris.
“Saya betul-betul kaget saat melihat (gambar) ada pisau tertancap di kepalanya bagian samping. Saat itu saya merasa bahwa saya tidak akan pernah lagi merasakan kehadiran ayah saya. Saya merasa menyesal kenapa dulu berpisah. Saya sangat kehilangan, dan saya berpikir bahwa saya harus balas perlakuan orang terhadap ayah saya.”
Rasa sedih, terluka dan kehilangan ayahnya membuat German kecil berubah perangainya, ia menjadi anak yang keras dan pemarah. Apalagi ketika teman-temannya mengganggunya, ia tidak segan-segan untuk memukuli mereka sampai mereka mau minta ampun.
Sepeninggal sang ayah, hidup German sangat menderita. Ibunya tidak mau merawatnya dan malah menikah dengan pria lain. Ia tinggal bersama paman dan tantenya, disana ia harus bekerja keras.
“Sejak kecil, sekalipun saya tinggal di rumah famili jam 5 saya sudah harus ke sawah dan menggembalakan kerbau.”
Karena terlalu lelah, German kecil akhirnya beristirahat di bawah sebuah pohon rindang dan tertidur. Malangnya, kerbau itu pergi ke sawah orang dan merusak tanaman padi mereka.
“Saat saya terbangun, saya sudah tahu pasti dipukul.”
Saat itu sekalipun German dipukul bertubi-tubi, ia memutusakan untuk tidak menangis. Menurutnya yang menangis itu bukan laki-laki.
Untuk mengenyam pendidikan yang lebih baik, German di bawa oleh pamannya ke Dumai. Tapi hidupnya di daerah baru itu sama saja, ia tetap harus bekerja keras dan tidak pernah merasakan kasih sayang. Akhirnya, untuk mencari hiburan German diam-diam keluar dari rumah setiap malam.
“Keluar malam itu saya ingin ketemu sama teman-teman. Saya ingin mencoba rokok sambil main kartu. Ada kepuasan kalau saya banting domino itu. Lalu kalau saya menang, itu seperti ada kepuasaan. Ditempat judi itu saya merasa tidak ada penghinaan, waktu itu saya pintar domino, karena itu orang ingin berteman sama saya. Saya merasa berharga, dan dibutuhkan.”
Namun kesenangan itu tidak lama, karena akhirnya pamannya tahu ulahnya.
“Saya ketahuan, saya ingat di depan teman-teman saya ditinju sama om saya. Rasanya sangat-sangat terhina, akhirnya saya putuskan untuk keluar dari rumah o mini,” tutur German.
Namun hidup dijalanan tidaklah mudah, ia bingung bagaimana bisa mengisi perutnya dan meneruskan sekolahnya. Tanpa pikir panjang, German nekat melakukan pencurian di pabrik-pabrik sekitar tempatnya. Namun keberuntungan suatu saat meninggalkan German, saat ia sedang mencuri kaca-kaca nako di sebuah pabrik, satpam mempergokinya. Ia pun dengan cepat lari, namun ia salah arah. Di depannya adalah rawa-rawa.
“Jadi saya tertanam di rawa-rawa, akhirnya saya diteriaki kalau tidak menyerah ditembak. Saya takut mati, yang juga membuat saya menyerah karena saya membawa seorang saudara saya. Saya ajak juga mencuri. Dari pada dia yang ditembak, saya menyerah saja.”
Karena masih dibawah umur, saudaranya dibebaskan. Namun tidak dengan German, karena pamannya sudah tidak mau membela dan mengurusnya juga, maka pamannya menyerahkannya untuk dihukum.
“Ada dalam hati saya berkata, suatu hari dia akan tahu siapa saya. Namun saya sudah patah arang. Saya tidak mau lagi bicara sama dia, sejak itu saya putus hubungan sama om saya.”
Penyesalan tinggal penyesalan, German tidak bisa membayangkan seperti apa masa depannya. Padahal ia berharap minimal bisa menyelesaikan SMA. Namun setelah berhari-hari di balik jeruji penjara, sorang guru yang iba kepadanya memberikan jaminan sehingga German bisa keluar dan kembali bersekolah. Berkat keluarga guru itu yang dengan tulus mau menerima dan membimbingnya German akhirnya bisa lulus SMA.
Selulus SMA German pergi ke Jakarta, ke rumah seorang kerabat, “Selama di Jakarta, Bang Richard ini selalu membawa saya kemana saja. Pada bulan November itu Bang Richard mengajak saya ke kkr ‘Kasih Melanda Indonesia’ di Senayan. Waktu sebuah lagu dinyanyikan secara berulang-ulang, waktu itu saya merasa hancur. Saya menangis dan betul-betul saya membuka hati. Saya mau bersama Yesus yang besar. Yesuslah satu-satunya jalan kebenaran dan hidup yang bisa membawa kita ke sorga. Datang ke Tuhan, saya akui semua yang saya alami, yang saya rasakan selama ini dan kedua saya mengampuni orang-orang yang menurut saya melukai saya. Saya juga mengambil keputusan untuk berhenti merokok, berhenti bergaul dengan orang-orang yang membawa saya kepada situasi merokok dan berjudi.”
Sejak saat itu German memiliki kehausan yang luar biasa untuk membaca firman Tuhan, “Kapan saja saya punya waktu, selalu saja saya buka Alkitab.” Cintanya kepada Yesus membara sejak saat itu. Namun suatu hari, German kembali diperhadapkan pada situasi yang sulit. Siang itu, German di ajak salah seorang kerabatnya untuk makan siang.
Kerabatnya itu bertanya, “Seandainya kamu ketemu sama pembunuh ayah kamu, akan kamu apakan dia?”
“Ngga tahu,” jawab German sambil mengangkat bahunya.
Seorang pria datang mengantarkan minuman dan duduk di depan mereka.
”Inilah dia..” tunjuk kerabatnya pada pria tersebut.
Semua ingatan German tentang masa lalunya seperti diputar ulang saat itu juga, “Tapi saya tidak ada rasa ingin membunuh. Semua kebencian-kebencian itu sudah diangkat sama Tuhan Yesus.”
Hati German seperti mengalami kelegaan, bahkan hatinya tergerak untuk menceritakan tentang Yesus kepada pria tersebut. Pengampunan ia telah lepaskan atas pria yang membunuh ayahnya, German pun ingin menyelesaikan rasa sakit hati yang dipendam kepada ibunya.
“Saya katakan pada mama saya, ‘Aku sayang mama.’ Mama saya mungkin saat itu merasa bersalah, dia minta maaf. Saya mulai berpikir, jika saat itu ibu saya ada pilihan untuk tidak menikah dan mampu membiayai hidup mungkin ia tidak akan melakukannya. Akhirnya semua perasaan dendam, benci, itu tercabut semua.”
Kini ibunya telah tiada, namun hidup German telah berubah. Hidupnya kini telah dipenuhi kasih Tuhan yang dapat ia bagikan kepada anak dan istrinya.
“Setelah saya di dalam Tuhan, pengalaman saya di masa kecil itu tidak harus di alami oleh anak saya. Saya sangat-sangat bersyukur karena Tuhan Yesus telah selamatkan saya. Hidup saya yang sia-sia, diubahkan-Nya menjadi berarti. Kalau bukan karena Tuhan, saya binasa, bagi saya Tuhan Yesus segala-galanya.”
Sumber Kesaksian:
German
Sumber : V110324121915