Clara Supit: Babi Lebih Berharga Daripada Saya

Family / 22 November 2012

Kalangan Sendiri

Clara Supit: Babi Lebih Berharga Daripada Saya

Lestari99 Official Writer
17709

Terlahir sebagai anak yang kekurangan pigmen atau dikenal sebagai albino, Clara mengalami penolakan tidak hanya dari lingkungan tapi juga dari orangtuanya sendiri. Hari-hari Clara dipenuhi dengan kekerasan dan caci maki dari orangtuanya, terutama ibunya. Kedua orangtuanya sepertinya tidak bahagia dengan kehadiran Clara di tengah keluarga mereka. Bahkan dalam sebuah kesempatan, dalam kemarahannya ibunda Clara sampai terucap kata-kata, “Kalau kamu babi, sudah mama jual!” sambil memukul dan mencubiti Clara.

“Berarti babi itu lebih berharga dari saya. Orangtua selalu melihat bahwa saya itu tidak bisa berbuat apa-apa,” ungkap Clara memulai kisahnya akan masa kecilnya yang menyedihkan.

Tidak hanya dari orangtuanya, Clara juga mengalami penpolakan dari saudara maupun teman-temannya. Setiap kali bertemu dengannya, mereka berkata bahwa Clara pembawa sial.

“Hal itu membuat saya tambah minder, tambah tertolak dan semakin merasa bahwa saya tidak diterima oleh lingkungan saya,” ungkap Clara.

Tidak hanya kelainan pada kulitnya, Clara juga mengalami gangguan di matanya. Ia tak dapat melihat jauh. Akibatnya, di sekolah Clara selalu menjadi bahan olok-olokan teman-temannya karena harus bolak-balik maju ke depan papan tulis untuk mencatat pelajaran dari gurunya. Dari luar, Clara terlihat cuek atas setiap olok-olokan tersebut, namun tak ada yang tahu bahwa semua ejekan itu disimpan Clara di dalam hati.

“Saya tidak dapat berbuat apa-apa selain saya menangis. Kadang saya sempat berpikir begini, ‘Kalau memang seperti ini, lebih baik saya mati saja daripada kehadiran saya ini seperti apa yang orang maupun teman-teman bilang, kalau ketemu saya itu sial’. Sedangkan adik saya sangat dekat dengan kedua orangtua saya. Dia bisa peluk, bisa cerita, bisa enjoy dengan mama dan papa saya, sementara saya tidak bisa seperti itu. Saya cemburu dan perasaan saya semakin terluka. Kenapa saya tidak bisa dekat dengan mereka sementara mereka bisa begitu dekat dan begitu sayangnya dengan adik saya,” kisah Clara.

Kondisi ini membuat Clara menyesali hidupnya. Rasa minder yang dirasakannya itu terus berlanjut sampai Clara menginjak usia remaja. Saat berjalan di luar rumah, Clara selalu menundukkan kepalanya. Saat harus berjalan melewati orang banyak, Clara berjalan di pinggir dan menutupi wajahnya dengan rambutnya.

Situasi di sekolahpun tidak jauh berbeda. Clara seolah menjadi terbiasa setiap kali ia dijadikan bahan permainan teman-temannya. Namun sekali waktu Clara pernah melawan perbuatan teman sekelasnya karena tidak tahan dengan perlakuan mereka yang membuat seolah-olah dirinya tidak berharga sama sekali.

Sampai suatu ketika Clara diajak oleh teman yang juga tetangganya untuk mengikuti ibadah di rumahnya. Saat mengikuti ibadah itulah Clara merasakan jamahan tangan Tuhan yang luar biasa saat menaikkan pujian penyembahan. Clara kemudian didoakan seorang hamba Tuhan dari Jakarta yang memang sedang melayani di dalam ibadah tersebut.

“Air mata saya tumpah, saya menangis sejadi-jadinya. Saya tidak pernah merasakan perasaan yang seperti ini. Saat itulah hamba Tuhan itu mendoakan saya dan mulai saat itu kerinduan saya kepada Tuhan semakin menjadi, semakin tidak dapat dibendung. Akhirnya saya dipinjamkan sebuah kaset dari seorang hamba Tuhan terkenal di Jakarta. Di akhir khotbah itu, ada doa tantangan untuk terima Yesus. Tepat di bagian itu, saya benar-benar ikuti karena hamba Tuhan itu bilang ikuti doa saya,” ungkap Clara mengisahkan awal titik balik dari hidupnya.

Saat Clara mulai mengucapkan kata-kata doa tersebut, ada sesuatu terjadi dalam batinnya.

“Saya merasa sebelum saya menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi dalam hdup saya, ada bagian yang kosong dalam hidup saya, bagian yang tak dapat diisi oleh apapun juga selain pribadi Yesus sendiri. Yang menjawab kerinduan saya, yang menghibur saya di saat saya sedih. Saya merasakan ketenangan di dalam hidup saya. Ada kedamaian sekalipun keadaan di sekeliling saya belum berubah,” ujar Clara.

Rasa kedamaian itulah yang membuat Clara semakin rindu mengenal siapa Tuhan itu sebenarnya. Untuk itu, Clara pergi menuntut ilmu ke Jakarta dan di sanalah ia bertemu dengan komunitas yang baru. Komunitas rohani inilah yang kemudian membantu Clara untuk membangun kepercayaan dirinya dan meyakinkan dirinya bahwa dirinya adalah seorang yang berharga dan sangat spesial di mata Tuhan.

“Sebenarnya luka di dalam hati saya itu belum sembuh. Sampai suatu saat, kebenaran Tuhan itu saya buka. Oh, ternyata ada firman itu. Oleh karena Engkau berharga dan mulia dan Aku ini mengasihi engkau. Di situ saya tahu, ya Tuhan, ternyata saya ini berharga. Karena Tuhan yang menciptakan saya. Karena di dalam kandungan ibu saya, Tuhan yang menenun dan membentuk saya. Berarti Tuhan tidak salah menciptakan saya seperti ini. Ternyata Tuhan punya rencana atas hidup saya. Dan saking berharganya saya itu, Yesus mau mati untuk saya. Siapa saya? Tapi Dia bisa terima saya apa adanya,” ujar Clara.

Bukan kali ini saja Tuhan mengungkapkan kebenaran kepadanya. Di sebuah seminar, Clara kembali menemukan sebuah kebenaran.

“Ada satu sesi yang benar-benar mengena di hati saya dan bahkan itu adalah firman Tuhan juga yang mengajarkan kepada kita untuk bisa melepaskan pengampunan. Oleh karena itu, saya mengambil suatu langkah untuk rekonsiliasi dengan orangtua. Bukan salah orangtua saya kalau saya dilahirkan seperi ini, dengan keadaan albino seperti ini. Tapi saya sadar sekarang kalau saya diciptakan Tuhan unik,” kisah Clara.

Seiring dengan waktu, pribadi Clara berubah total. Dari pribadi yang minder, Clara berubah menjadi seorang yang penuh percaya diri. Bahkan Clara tidak sungkan membagikan kisah hidupnya kepada orang lain dan menjadi seorang motivator.

“Kasih Yesus itu kasih yang luar biasa. Kalau kasih manusia itu kasih yang bersyarat. Saya mengasihi kamu karena kamu anak baik, bahkan orangtua pun bisa seperti itu. Tapi kalau kasih dari Tuhan, kasih tanpa syarat. Dia mengasihi saya apa adanya. Dia menerima saya apa adanya. Sebagaimana saya sudah dijadikan, sudah dilahirkan seperti ini, Yesus terima saya apa adanya,” ujar Clara menutup kesaksian hidupnya.

Sumber Kesaksian :
Clara Supit
Sumber : V120418151723
Halaman :
1

Ikuti Kami