Yohana pertama kali mengenal Paulus dari hobi mereka yang sama yaitu bermain voli. Dari kegiatan itu, pertemanan Yohana dan Paulus berlanjut menjadi pacaran dan setahun kemudian mereka melangsungkan pernikahan. Tahun demi tahun pernikahan Yohana dan Paulus semakin harmonis. Usaha mereka berjalan sukses dengan materi berlimpah. Apapun yang menjadi keinginan Yohana dituruti oleh Paulus. Kala itu Yohana sangat bersyukur karena Tuhan telah memberikan kepadanya seorang suami yan begitu baik.
Perubahan besar mulai terjadi setelah Yohana memiliki anak ketiga. Suatu hari Paulus tidak pulang dan Yohana tidak mendapati Paulus di tempat kerjanya. Namun belum ada sedikitpun pikiran bahwa Paulus selingkuh. Namun dalam mimpinya Yohana kerap bermimpi melihat Paulus berboncengan dengan seorang wanita. Saat ditanyakan, Paulus kerap menyangkalnya. Tak hanya dari mimpi, Yohana juga mendengar dari orang lain yang melihat langsung suaminya sedang bersama wanita lain.
Resah dengan informasi yang didapatnya, Yohana memutuskan mencari Paulus. Ia mengikuti Paulus secara diam-diam. Saat melihat Paulus pergi ke suatu rumah, Yohana tidak ikut turun. Namun keesokan harinya ia membawa anak-anaknya untuk mendatangi tempat itu. Paulus kaget setengah mati. Percekcokan pun tak terhindarkan. Namun betapa sakit hati Yohana ketika Paulus saat itu justru mengusir dirinya dan anak-anak mereka pergi dari tempat itu.
“Waktu itu hati saya sakit sekali. Aduh Tuhan, kenapa jadi seperti ini?” kisah Yohana dengan pedih.
Kepulangan Yohana ke rumah orangtuanya semakin menambah pahit hatinya. Orangtua Yohana tidak menerima kehadiran Billy, Elma dan Feibe, anak-anak Yohana, kecuali ia pulang seorang diri. Pernikahan Yohana dengan Paulus memang tidak direstui oleh kedua orangtuanya sejak awal.
“Waktu itu papa mama saya bilang, kalau kamu mau pulang, kamu bawa Billy, Elma dan Feibe kembali ke papanya dan kamu pulang sendiri ke rumah. Waktu itu saya hanya bilang, sampai kapanpun saya akan hidup dengan ketiga anak ini. Sampai kapanpun, apapun yang terjadi, saya tidak mau hidup pisah dari anak-anak,” ujar Yohana.
Penolakan dari orangtuanya sendiri membawa Yohana kembali kepada Paulus. Namun keputusan itu semakin menambah luka hati Yohana. Meskipun Paulus berjanji kejadian itu tidak akan terulang kembali, namun semua janji itu hanya ucapan manis bibir semata. Perselingkuhan Paulus kembali terjadi berulangkali. Yohana sudah mati rasa terhadap Paulus. Perselingkuhan Paulus berimbas pada kehancuran perekonomian keluarga mereka.
Suatu hari Paulus pamit untuk mencari kerja ke Jakarta dengan menjual kapal, satu-satunya harta yang masih mereka miliki. Namun keesokan harinya, om dari Paulus mendatangi Yohana dan menceritakan bahwa Paulus pergi ke Jakarta bersama dengan seorang wanita.
“Waktu itu rasanya saya mau mati saja. Saya tidak bisa bikin apa-apa lagi. Kenapa seperti ini Tuhan? Saya hanya bisa menangis dan menangis,” kisah Yohana dengan pedih.
Kekecewaan yang dialami Yohana membuat dirinya jatuh sakit. Tindakan medis yang dilakukan pada Yohana tidak membawa kesembuhan apapun.
“Waktu itu saya hanya berpikir, ‘Tuhan, penyakit apa ini? Apa Tuhan mau ambil saya? Dendam saya itu kalau misalnya saya ketemu, mungkin saya bisa bunuh dia,’” ujar Yohana. Namun kehadiran anak-anaknya menjadi kekuatan bagi Yohana kala itu.
Sejak kepergian suaminya, Yohana berjuang membesarkan ketiga anaknya. Menjelang tahun kedua, Yohana dikejutkan dengan berita keberadaan suaminya. Ia mendengar kabar bahwa hidup suaminya saat ini telah mapan. Tetangga yang membawa kabar tersebut bahkan menawarkan bantuan kepada Yohana untuk mengantarkannya ke sana. Yohana pun bertekad menemui Paulus ditemani ketiga anaknya.
Lagi-lagi bukan jalan keluar yang ditemuinya di sana. Paulus tidak menerima kehadiran Yohana dan anak-anaknya di rumahnya. Saat itulah diputuskan bahwa Billy, anak sulung mereka, tinggal bersama Paulus, sementara Elma dan Feibe ikut Yohana. Setelah kejadian itu, Yohana kembali jatuh sakit. Namun perkataan anaknya kala itu sungguh menggugah hati Yohana.
“Elma waktu itu berkata, mama jangan marah-marah lagi. Kalau mama marah-marah terus ke papa, tetap penyakit mama akan anfal. Coba mama berusaha untuk mengampuni papa. Tapi waktu itu saya belum bisa memaafkan. Ada memaafkan, tapi ada kebencian juga,” ujar Yohana mengisahkan perjuangan hidupnya yang pahit.
Mengampuni suami yang menyakitinya memang bukanlah perkara yang mudah. Suatu hari Yohana pergi ke mall dengan anak-anaknya dan ia melihat sebuah buku yang bertuliskan ‘Harus Banyak Sabar’. Yohana langsung tertarik untuk membaca buku tersebut.
“Buku itu membuat saya berubah. Seorang istri harus memaafkan suami, biarpun suami itu selalu menyakiti namun istri harus selalu memaafkan. Isi dari buku itu membuat saya berdoa, ‘Tuhan, ajar saya untuk mengampuni biarpun orang itu selalu berbuat jahat, tapi saya tidak mau marah. Saya mau belajar hanya untuk mengampuni,” ungkap Yohana mengisahkan titik balik yang terjadi dalam hidupnya.
Komitmen Yohana untuk mengampuni suaminya pun diuji saat ia harus mengantarkan kedua putrinya bertemu ayah mereka. Saat itu Yohana tidak emosi sama sekali meskipun ia harus bertemu dengan wanita selingkuhan suaminya. Bahkan kala itu suaminya menawarkan diri untuk mengantarkan mereka pulang.
“Kami mengobrol sepanjang jalan. Bahkan anak-anak bercanda dengan mengatakan, ‘Gini dong pa, kita jalan-jalan bareng, ada mama, papa, Elma sama Feibe. Kapan kita jalan-jalan bareng seperti ini?’ dan suami saya malah bilang, ‘Oh iya, nanti kapan-kapan kita jalan-jalan bareng lagi’. Kami jadi sering berjalan-jalan bersama,” kisah Yohana.
Peristiwa tersebut menjadi awal yang baik bagi hubungan mereka. Bahkan satu hari Paulus dan Yohana membawa anak-anak untuk menghabiskan waktu di Bandung selama tiga hari. Sukacita yang dirasakan Yohana sungguh tak dapat diceritakan dengan kata-kata. Bagi Yohana, Tuhan telah mendengar doanya. Sukacita Yohana tidak berhenti hanya pada hari itu saja. Dua hari kemudian, tanpa memberitahu terlebih dahulu, Paulus datang berkunjung ke tempat Yohana dan meminta makan serta mengobrol. Bahkan bertanya apakah Yohana sudah memaafkan dirinya.
“Waktu itu saya hanya bilang, saya sudah maafin. Saya tidak pernah marah. Tuhan saja bisa mengampuni orang. Tuhan begitu baik. Tuhan sudah mendengar doa saya. Saya bergumul 20 tahun dan saya bilang (pada Elma) bahwa papa akan kembali di tahun ini. Tuhan, saya menang! Suami saya sudah datang!” kisah Yohana.
Suatu hari handphone Yohana berbunyi dan ia melihat nomor suaminya di sana. Saat ditelepon balik, yang mengangkat adalah Billy, anak sulungnya. Waktu itu Billy hanya bilang bahwa ayahnya membutuhkan ibunya di sana. Yohana bingung sejak kapan Paulus membutuhkan dirinya? Tak lama kemudian tante Yohana menelpon dan mengabarkan berita bahwa Paulus telah meninggal. Yohana tak mempercayai berita tersebut karena beberapa jam sebelumnya ia masih bicara dengan Paulus dan Paulus tidak dalam keadaan sakit. Yohana kemudian menelepon Elma yang ternyata telah berada di rumah papanya. Saat Elma memberitakan kabar yang sama, Yohana langsung lemas kehilangan tenaga. Yohana menemui jasad suaminya di rumah duka.
“Saat saya melihat suami saya terbaring di tempat tidur dalam kondisi meninggal, saya hanya berdoa, ‘Tuhan sudah mengambil suami saya menghadap Tuhan. Saya sudah mengampuni dia. Tuhan akan terima dia di sisi-Nya. Tuhan sudah panggil suami saya, dan dia sudah pulang dengan baik ke rumah, ya sudah. Kami hanya mensykuri hal itu saja.’ Sepulangnya dari sana, antara mikir dan ga mikir, saya hanya bilang Tuhan selalu bersama dengan saya jadi saya tidak usah kuatir,” ujar Yohana.
Semua peristiwa yang dialami Yohana membentuknya menjadi seorang wanita yang tangguh. Ia bekerja keras banting tulang memenuhi kebutuhan hidup anak-anaknya.
“Papa sudah tidak ada, otomatis mama yang jadi single parent dan menghidupi saya dan adik saya. Saya bangga sama mama karena dia sosok ibu yang luar biasa, dia tidak pernah memikirkan dirinya sendiri. Apapun akan dilakukan buat anak-anaknya,” ungkap Elma, putri Yohana.
“Bagi saya mama itu orangtua yang sangat amazing banget. Thanks God saya sudah mempunyai orangtua yang luar biasa seperti dia,” ujar Feibe, putri bungsu Yohana.
“Saya sebenarnya tidak pernah kehilangan sosok ayah karena sosok ayah itu bisa saya lihat di mama. Dia bener-benar banting tulang, dia benar-benar lakukan apa saja yang penting anak-anaknya bisa berhasil. Itu mama,” tambah Elma mengisahkan kehebatan mamanya sambil berurai air mata.
“Baik seorang janda, anak yatim piatu, Tuhan tidak pernah tinggalkan. Saya sebagai kepala keluarga, saya harus mengemudi keluarga, mendidik anak-anak tanpa suami, tapi saya percaya bahwa Tuhan Yesus adalah suami saya. Kalau Tuhan di pihak kita, siapakah yang dapat melawan kita? Saya tidak boleh takut. Terima kasih Tuhan, Engkau baik, begitu besar kasih sayang Tuhan bagi kami,” ujar Yohana menutup kesaksian hidupnya.
Sumber Kesaksian: Yohana de Fretes Sumber : V111208235455