Doa, secara sederhana adalah percakapan dengan Allah. Dengan pola pikir ini, bukankah kita seharusnya melakukannya dengan cara yang menyenangkan Dia? Bukan dengan daftar permintaan yang harus Dia lakukan bagi kita, tapi benar-benar memahami bagaimana berbincang dengan Dia, dan berbagi keprihatinan kita, ketakutan, dan permohonan. Kita tidak pernah memaksa teman untuk mengikuti kemauan kita dengan menakut-nakutinya atau dengan memuji-muji dia bukan. Lalu bagaimana mungkin kita memperlakukan Tuhan dengan cara demikian?
Alkitab banyak mengajarkan tentang doa, termasuk apa yang Yesus ajarkan tentang cara berdoa (Doa Bapa Kami - Matius 6:9-13). Salah satu perumpamaan yang Yesus bagikan kepada murid-muridnya tentang doa adalah berikut :
Perumpamaan tentang orang Farisi dan Pemungut Cukai
Dalam Lukas 18, dokter yang beralih menjadi murid mencatat kisah Yesus menceritakan tentang dua orang berdoa kepada Allah, dan bagaimana mereka masing-masing diterima oleh Bapa.
Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini: " Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai.” (Lukas 18:9-10).
Perumpamaan ini adalah cara yang baik untuk mengukur hati kita ketika kita datang kepada Allah dalam doa. Tanyakan kepada diri sendiri, apakah aku orang Farisi atau pemungut cukai? Agak sulit untuk menentukan siapa orang yang baik dalam skenario ini sebelum Yesus menjelaskan cara Allah pandang. Sebelumnya Yesus memperingatkan orang-orang Farisi, mereka adalah pemimpin gereja yang dihormati. Mereka adalah orang suci pada hari itu. Para pemungut cukai dibenci oleh sebagian besar orang. Orang-orang pada saat itu akan berasumsi bahwa Yesus akan mencelanya sebagai "orang berdosa". Dan Dia akan berkata bahwa tempat pemungut cukai bukanlah di bait Allah. Tapi apakah demikian?
”Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (ayat 13-14).
Pelajaran yang bisa kita tarik dari perumpamaan itu ditemukan dalam respon kedua orang tersebut saat menghadap hadirat Tuhan. Orang Farisi bangga dan mencoba untuk memvalidasi sendiri "kebenaran" dalam doanya. Dia menghakimi tetangganya sambil menyemburkan perbuatan baiknya, seolah-olah itu akan menjamin dia mendapat beberapa poin dari Allah. Pemungut cukai datang dalam doanya dengan kerendahan hati. Tanpa membenarkan diri sendiri, ia meminta Tuhan untuk menunjukkan kepadanya rahmat-Nya.
Doa yang Tuhan dengar
Tuhan mendengar doa-doa orang benar dan rendah hati. Raja Yosia yang takut akan Tuhan, sebagaimana dicatat dalam Perjanjian Lama, adalah contoh dari hal ini. Dalam II Tawarikh 34:27, kita melihat bahwa hati yang penuh pertobatan mendapat perhatian Allah.
Oleh karena engkau sudah menyesal dan engkau merendahkan diri di hadapan Allah pada waktu engkau mendengar firman-Nya terhadap tempat ini dan terhadap penduduknya, oleh karena engkau merendahkan diri di hadapan-Ku, mengoyakkan pakaianmu dan menangis di hadapan-Ku, Akupun telah mendengarnya, demikianlah firman TUHAN
Allah ingin mendengar kesungguhan dalam doa kita, bukan kesombongan. Ketika kita berdoa, mari kita mengambil sikap untuk tetap rendah hati di hadapan Tuhan. Untungnya, Tuhan melimpahkan rahmat-Nya bagi setiap orang yang datang kepada-Nya dalam pertobatan, bahkan mereka yang terjebak dalam “kerohanian”, seperti orang Farisi. Intinya: Allah peduli dengan hati seseorang. Jadi lain kali ketikan kita pergi kepada Allah dalam doa, tanyakan pada diri kita sendiri, apakah saya rendah hati atau sombong? Bagaimanapun juga, doa adalah kesempatan yang baik untuk membangun hubungan yang baik dengan Tuhan.