Sonny, Nyaris Mati Ditangan Kakak Kandungnya

Family / 5 December 2011

Kalangan Sendiri

Sonny, Nyaris Mati Ditangan Kakak Kandungnya

Puji Astuti Official Writer
8437

Siang itu, Sonny sedang mencoba mencari pekerjaan untuk menggapai kehidupan yang lebih baik. Ia menghubungi tantenya melalui telephone untuk meminta bantuan dicarikan pekerjaan, dan ia tidak pernah merasakan bahwa ada bahaya maut yang mengancamnya di rumahnya sendiri. Tetapi tiba-tiba, kakak kandungnya datang dengan sebilah parang dan menyerangnya.

“Saya tidak tahu waktu itu dia merencakan apa buat saya, tiba-tiba saya kaget..! Darah mengalir, saya sempat menangkis dan kepala saya terbelah..”

Nyawa Sonny seakan sudah di ujung tanduk. Ia menjerit dan berlari ke jalanan untuk mencari bantuan. Sang ibu yang mendengar jeritan Sonny keluar dari kamar, namun saat tiba di ruang tamu ia hanya menemukan ceceran darah. Sonny yang berada di pinggir jalan berusaha menghentikan kendaraan yang lewat untuk mendapatkan bantuan, namun ternyata hal itu bukanlah hal mudah.

“Saya lari kepinggir jalan, saya mau nyetop kendaraan tapi mereka tidak ada yang mau berhenti. Saya pesimis, karena darah terus mengalir membasahi tubuh dan kaos saya.”

Hingga sebuah mobil box berwarna putih muncul di ujung jalan.

“Saya berteriak-teriak dan mengejar mobil itu. Akhirnya saya diangkat dan dipapah oleh sopir mobil boks itu dan rekannya.”

Sopir kendaraan itu mengantarkan Sonny ke klinik terdekat, namun sayangnya klinik tersebut menolak untuk menanganinya karena luka yang ia alami cukup dalam sehingga membutuhkan perawatan khusus, sedangkan klinik itu tidak memiliki peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan perawatan.

“Saya merasa sangat takut, saya merasa ini adalah akhir hidup saya. Beberapa menit lagi, saya akan menghadap Tuhan. Akhirnya saya bilang pada pengemudi supir boks itu, ‘Pak, tolong bawa saya ke rumah sakit terdekat pak..’”

Sonny hanya bisa pasrah menghadapi keadaannya itu. Di dalam keadaannya yang kritis itu, Sonny bahkan masih sempat menenangkan mamanya. Namun ia sendiri sebenarnya tidak yakin bisa melewati semuanya itu.

“Dokter bedah akhirnya menjahit kepala saya sebanyak 42 jahitan. Saya amat takut dan merasakan sangat sakit pada kepala saya. Saya merasa barangkali saya sudah gagar otak.”

Ditengah menahan rasa sakit yang luar biasa itu, hati Sonny bergolak ketika mengingat perbuatan kakaknya.

“Saya sangat dendam pada kakak saya, saya ingin  membunuh dia dimanapu dia berada saat itu. Saya ingin menghampiri dia dan melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan pada saya.”

Dendamnya pada sang kakak terus menyelimuti hati dan pikiran Sonny. Namun setelah keluar dari rumah sakit, yang Sonny rasakan bukan hanya dendam, namun ia juga dihantui ketakutan yang membuatnya hampir gila.

“Dari kejadian itu saya menjadi trauma. Kejadian itu sangat menghantui diri saya. Pada waktu saya mandi, saya tidak mau pintu kamar mandi ditutup. Saya tidak ingin berada di suatu tempat yang tertutup. Saya sangat takut, bayangan kakak saya selalu muncul di depan saya. Saya berpikir, ‘Apakah mungkin nanti ada orang yang disuruh kakak saya untuk membunuh saya. Untuk itu saya perlu ekstra waspada dan hati-hati.’”

Entah apa yang terjadi dengan dirinya, semakin hari ia merasa batinnya semakin tersiksa. Bahkan setelah menikah, kondisinya tidak juga berubah. Berbagai cara ia coba, berbagai dokter ia temui dengan satu tujuan, disembuhkan dari trauma yang menghantuinya.

“Saya merasa depresi berat, sampai saya tidak bisa tidur. Dalam satu hari saya hanya tidur satu jam.”

Selama dua tahun, Sonny mengkonsumsi obat penenang dari dokter, namun hal itu tidak juga menyembuhkan traumanya. Merasa tidak ada lagi jalan keluar, akhirnya Sonny memutuskan untuk mencari Tuhan.

“Tiap hari saya selalu berdoa, melakukan PA pribadi. Saya mulai rajin datang ke persekutuan-persekutuan doa, saya mulai meminta kesembuhan pada Tuhan. Tetapi memang tidak seperti membalikkan telapak tangan. Tapi disini memang saya di uji..”

Ditengan mencari Tuhan untuk kesembuhan dirinya, Sonny tiba-tiba mendengar Tuhan berbicara kepadanya: “Sonny, kamu harus menerima kakak kamu apa adanya.. Engkau harus mengampuni dia sama seperti Tuhan sudah mengampuni diri kamu yang sangat berdosa.”

Batin Sonny memberontak, selama tiga hari ia bergumul dengan dirinya sendiri. Namun kalimat tersebut terus mengiang-ngiang di telinganya.

“Berat rasanya untuk mengampuni. Saya tidak bisa. Tapi di satu pihak saya ingin sembuh. Akhirnya saya memutuskan untuk bertemu dengan kakak saya.”

Hari itu, Sonny mengambil sebuah langkah yang sangat berani. Sebuah langkah yang akan mengubahkan hidupnya.

“Tuhan sudah memberikan nyawanya buat saya dan Tuhan sudah mengampuni hidup saya, maka saya harus mengampuni kakak saya. Waktu saya memeluk kakak saya, perasaan lega mengalir dalam hati dan pikiran saya. Dimana pada waktu itu saya merasa Yesus hadir. Yesus yang memberikan kedamaian.”

Pengampunan telah membukakan pintu-pintu mukjizat bagi Sonny. Berangsur-angsur ketakutan yang menghantuinya menghilang, bahkan ia dapat tidur dengan nyenyak tanpa mengkonsumsi obat penenang.

“Ternyata kebencian saya kepada kakak saya selama ini yang membuat hidup saya semakin hancur. Dan ketika saya mengampuni, ada pengharapan yang luar biasa yang Tuhan Yesus janjikan kepada saya,” ungkap Sonny. 

Sumber Kesaksian:

Sonny Wuisang

Halaman :
1

Ikuti Kami