Berhubungan seks antara suami istri seharusnya bisa menjadi sesuatu yang membahagiakan dan menggairahkan. Tapi anehnya, sebagian besar pasangan seringkali tidak hanya berada di halaman yang berbeda, namun berada di buku yang berbeda saat masuk ke ranah seks.
Saya pun mengalami hal yang sama. Teramat sering suami saya merasa tertolak setiap kali saya mengatakan “tidak” untuk berhubungan seks. Dan seringkali saya merasa betapa suami saya tidak menghargai saya dan hanya memanfaatkan tubuh saya untuk kepuasannya sendiri tanpa memperdulikan apa yang saya rasakan.
Sebelum kami menyadari apa yang sebenarnya terjadi, kesalah-pahaman ini terus berlanjut. Sepertinya tak ada penyelesaian dan jalan keluar yang dapat kami ambil. Kedua belah pihak merasa benar tentang apa yang mereka rasakan. Meskipun kami berusaha saling memahami, namun tak satupun dari kami dapat menyelami jalan pikiran masing-masing.
Saya mencoba mengerti bahwa suami saya (mungkin) sangat suka untuk berhubungan seks dan saya pun berusaha untuk mengurangi agar tidak mengatakan “tidak”, namun saya tak dapat menyelami apa yang ada di pikirannya sampai-sampai ia tetap tak bisa memahami kebutuhan saya yang tak mungkin dapat dipenuhinya hanya dengan mengajak saya berhubungan seks.
Suami saya pun mencoba untuk mengerti bahwa mungkin saya memang ‘tidak terlalu suka’ berhubungan seks, tapi ia tak dapat menyelami pikiran saya yang masih sering menolak ‘bentuk cinta dan perhatian’ darinya melalui ajakan untuk berhubungan seks. Dan semakin bingung saat saya mengatakan kepadanya bahwa ia tidak menghargai saya dan hanya memanfaatkan tubuh saya semata untuk mendapatkan kepuasan.
Selama beberapa waktu kami berjalan dengan pemahaman masing-masing. Sampai kami mendapatkan sebuah pemahaman yang baru, bahwa selama ini kami berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda. Selama ini sepertinya ia berbicara menggunakan bahasa Jerman saat masuk ke topik seks, sedangkan saya menanggapinya dengan bahasa Polandia. Benar-benar tidak nyambung dan tidak saling mengerti, dan kamipun tersesat dalam menterjemahkan bahasa seks masing-masing.
Saya pun mencoba belajar dan memahami seks bagi pria. Suami saya pun melakukan hal yang sama. Kami mulai mempelajari buku-buku referensi mengenai komunikasi antara suami dan istri, termasuk pembahasan mengenai seks. Saat itulah kami memiliki pengertian yang baru.
Saya mengerti bahwa pria memang diciptakan untuk memiliki hasrat yang tinggi akan seks. Bagi mereka, tidak melakukan hubungan seks selama beberapa waktu tak dapat ditolerir secara alami oleh tubuh mereka. Tuhan memang menciptakan tubuh mereka seperti itu. Dan seks merupakan ‘bukti nyata’ tertinggi akan ungakapan cintanya kepada sang istri. Seringkali, harga diri dan keperkasaannya pun ditempatkannya melalui seks. Sehingga sebuah kata “tidak” bagaikan menampar harga dirinya sebagai seorang pria.
Dan suami saya pun mulai menyadari bahwa saya membutuhkan perhatian dan penghargaan tidak hanya melalui hubungan seks. Sangat penting bagi saya untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang melalui hal kecil dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga bahasa manis tidak lagi hanya digunakan suami saya saat ia ingin berhubungan seks, tapi setiap saat.
Dan suami saya pun mulai memahami mungkin mudah baginya untuk kesal kepada saya dan bersikap tidak enak, lalu dalam sekejap melupakannya dan mengajak saya untuk berhubungan seks sejam kemudian. Tapi tidak demikian dengan saya. Setiap pertengkaran, perkataan pedas dan ketidak-enakan yang saya rasakan dapat tetap mempengaruhi saya sepanjang hari dan dapat menghilangkan mood untuk bercinta bahkan selama berhari-hari (setelah dipikir-pikir, wanita memang susah dimengerti dan dibuat senang). Tapi itulah saya.
Waktu demi waktu, kami tetap berusaha menyamakan persepsi dan menyamakan bahasa kami saat membicarakan seks. Sampai sekarang kami masih belajar, tapi sudah jauh lebih baik daripada awalnya.
Tak heran orang seringkali mengatakan bahwa pria dan wanita berasal dari dua planet yang berbeda, karena memang demikian adanya. Tapi anehnya, pria dan wanita saling membutuhkan untuk saling mengisi dan melengkapi. Tak ada pria yang merasa sempurna tanpa adanya wanita, demikian pula sebaliknya. Jadi, daripada bersikeras hidup dengan cara dan pengertian masing-masing, sudah seharusnyalah pria dan wanita saling menyeberangi planet dan memahami pikiran serta cara hidup masing-masing dengan membuang pola pikir lama dan keegoisannya semata.
Sumber : Jawaban.com