Andreas Yewangoe, Pembela Kebebasan Beragama

Entrepreneurship / 30 August 2010

Kalangan Sendiri

Andreas Yewangoe, Pembela Kebebasan Beragama

Lestari99 Official Writer
3641

Pendeta Andreas Yewangoe, Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), meyakini bahwa tindakan tegas pemerintah terhadap pelanggar hak kebebasan beribadah menjadi kunci untuk menghentikan penyerangan tempat ibadah. Hatinya selalu terusik setiap kali terjadi pelanggaran hak kebebasan beribadah yang menimpa umat beragama. Namun yang paling dia sesalkan adalah sikap pemerintah yang tidak tegas dalam menindak para pelakunya.

“Ketika ada benturan (antar umat beragama yang berbeda) dan disikapi dengan tindakan yang kurang tegas, maka sebenarnya secara tidak langsung pemerintah agak tidak menghargai kebebasan itu,” ujarnya dengan tegas.

Seperti yang terjadi atas Gereja HKBP Pondok Timur di Kota Bekasi, Jawa Barat, baru-baru ini. Menurut pendeta berusia 65 tahun, seharusnya aparat pemerintah setempat dapat mencarikan jalan keluar apabila muncul kasus menyangkut hak kebebasan menjalankan ibadah ini. Bukan hanya untuk umat Kristen, tetapi di tempat lain kalau ada umat Islam, Hindu atau Budha mengalami kesulitan, mereka harus memfasilitasi dan mencarikan jalan keluar terhadap permasalahan yang ada,” ujar peraih gelar Doktor di bidang teologi di Universitas Vrije, Amsterdam, tahun 1987 tersebut.

Pria yang dilahirkan di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur ini kuatir jika persoalan seperti ini dibiarkan akan berdampak kepada kewibawaan negara. Dan apabila penyerangan gereja ini terus terjadi, bukan tidak mungkin kewibawaan negara akan tergerus oleh kelompok-kelompok ini.

Mengenai kasus yang baru saja terjadi, PGI telah melaporkan masalah penyerangan gereja kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, setelah laporan dari kasus-kasus sebelumnya tidak ditanggapi secara serius oleh aparat di bawahnya.

Meski kelompok yang menyerang gereja di Kota Bekasi menggunakan atribut Islam, namun Andreas yang sudah lama berkecimpung dalam kegiatan dialog antar umat beragama ini menolak anggapan jika kasus ini merupakan pertentangan antara Islam-Kristen.

Menurut penalaran suami dari Petronella Lejloh ini, hubungan antar umat Islam dan Kristen selama ini hampir tidak ada masalah. Masalah justru timbul ketika aspek-aspek lain masuk ke dalamnya, seperti aspek politik atau ekonomi. Oleh karena itu, para pelaku adalah “orang yang kurang menghormati konstitusi” atau “tidak menghormati konstitusi”. Karena hak kebebasan beragama di Indonesia telah dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945. Tindakan kelompok-kelompok ini apabila dibiarkan dikuatirkan dapat mengganggu hubungan baik umat Islam-Kristen yang telah dan terus dibangun selama ini.

Sebagai pemimpin tertinggi organisasi Persekutuan Greja-Gereja Indonesia (PGI) yang menghimpun sekitar 80 persen umat Protestan di seluruh Indonesia, pendeta yang juga rutin menulis di sebuah harian sore ini mengaku telah menjalin komunikasi dengan pimpinan ormas agama lain. Jalinan ini menurut Andreas sangat penting untuk menghilangkan rasa curiga yang selalu muncul dalam perjalanan hubungan antar umat agama yang berbeda.

Komunikasi seperti ini sangat bermanfaat untuk menyelesaikan kasus-kasus yang berlatar masalah agama. Namun memang harus diakui hubungan akrab di tingkat pemuka agama itu kurang berimbas sampai di kalangan umat kebanyakan. Dan hal inilah yang menjadi tugas semua pemimpin agama untuk menularkan semangat kerukunan itu agar berimbas pula ke bawah.

Saling curiga antar umat beragama memang bukanlah persoalan baru. Seperti keinginan umat Kristen untuk membangun gereja yang menimbulkan kecurigaan di kalangan umat Islam. Seringkali hal itu disebut sebagai ‘strategi kristenisasi’, yang dalam pengertian kasar mengajak orang lain untuk masuk Kristen. Pola pemikiran seperti itu merupakan sisa-sisa pemikiran lampau yang dipraktekkan oleh penguasa kolonial Belanda. Sebaliknya kecurigaan terhadap agama lain juga masih ditunjukkan sebagian umat Kristen. Seperti adanya rasa curiga terhadap motif pemberlakuan peraturan di daerah tertentu yang berbau ‘Syariah’.

Agar kecurigaan itu dapat semakin dikurangi, Andreas kembali menekankan betapa pentingnya dialog antar pemimpin agama. Sehingga kita tahu persis kenapa umat Islam melakukan itu dan kenapa orang Kristen melakukan itu sehingga tidak mudah timbul saling curiga. Komunikasi ini tentu saja harus dilakukan secara terus-menerus.

Hal ini tentu saja membutuhkan waktu yang lama dan tidak bisa tercipta secara instan. Karena bagaimanapun juga diakui oleh Andreas ‘beban sejarah’ antara umat Islam dan Kristen itu cukup berat.

Pendeta kelahiran 31 Maret 1945 ini juga menyinggung perihal kehadiran kelompok ‘fundamentalis’ di semua agama. Kelompok ini adalah kelompok yang berusaha memurnikan agama. Namun menurut Andreas, hal ini adalah sesuatu yang hampir tidak mungkin untuk dilakukan karena agama itu senantiasa bersentuhan dengan realitas. Andreas tidak sepakat dengan cara berpikir seperti itu.

“Lebih baik substansi agama yang menbebaskan itulah yang harus diangkat dan diinterpretasikan secara terus-menerus di dalam bersentuhan dengan kenyataan,” ujar Andreas.

Oleh karena itu penting bagi setiap umat untuk memakai kalimat yang bisa dipahami semua kalangan.

“Misalnya slogan ‘Indonesia harus dimenangkan untuk Kristus’. Mungkin di kalangan kita itu biasa-biasa saja, karena ucapan itu menyatakan iman. Tapi kalau ucapan tersebut masuk ke ruangan publik, yang berbeda agama dan pemahaman, dan persepsi, hal itu justru bisa menimbulkan persoalan. Akan muncul kecurigaan, ‘Loh, orang Kristen ini mau apa? Apakah mau jadi agresor?’ Salah paham pun bisa terjadi,” papar Andreas dengan panjang lebar.

Karena itu Andreas mengajak seluruh umat Kristen untuk ‘tidak menggunakan kalimat yang bagi orang lain tidak dipahami.

Sumber : bbc
Halaman :
1

Ikuti Kami