Berawal dari teman yang menceritakan bahwa dia melihat Evert di mall bersama wanita lain, membuat istri Evertlandus curiga. Dia mencoba memeriksa handphone Evert yang tidak pernah dihapus SMS-nya. Kecurigaan ini diperkuat dengan salah satu SMS yang mengungkapkan kata ‘sayang’ dari suami Debby, Evertlandus.
“Akhirnya saya tanya sama suami saya. Saya sebut nama cewek ini (yang ada di handphone tersebut).” kisah Debby, istri Evert. Lalu Evertlandus menceritakan bahwa cewek ini cuma curhat dan tidak ada apa-apa di antara mereka. Untuk membuktikannya, Evert menelepon si cewek di depan istrinya.
“Istri saya marah-marah dengan wanita itu. Saya kemudian bilang kepada wanita itu kalau kami tidak bisa berhubungan lagi.” kisah Evertlandus kemudian. “Tetap aja. Saya kayaknya nggak percaya. Saya pikir suami saya ini pasti selingkuh. Oh, liat aja. Kalau lu bisa, saya juga bisa. Itu yang tertanam di pikiran saya.” timpal Debby kemudian.
Kecemburuan itu sudah membutakan mata hati istrinya. Demi membalas Evert, sebuah tindakan konyol pun dilakukan sang istri. “Ya, tadinya memang urusannya itu cuma urusan pekerjaan. Karena sering bersama, ya ga tahu kenapa, kenapa saya bisa gitu ya, saya tertarik sama cowok itu dan akhirnya melakukan hubungan yang terlarang.” tutur Debby kemudian.
Di lain sisi, Evert pun curiga kepada istrinya. Istrinya yang tidak pernah membuatkan teh maupun menyediakan roti untuknya, mau menyediakan teh dan roti untuk laki-laki tersebut. Sang istri pun pandai menutupi perselingkuhannya. Ajakan Evert dan temannya untuk ikut ke Bandung tidak digubrisnya. Dia malah bersenang-senang dengan pria selingkuhannya.
Ketika Evert sudah pulang dari Bandung, Evert semakin merasa curiga. Pasalnya adalah ketika dia menggedor pintu rumah yang terkunci, lama tidak ada yang membuka. Akhirnya agak lama baru Debby membuka pintu. Mengingat peristiwa itu, Debby masih ingat rasa takut ketahuan oleh suaminya karena perselingkuhan yang dia lakukan.
Saat itu Debby menjelaskan bahwa dia habis mandi, dan sekarang laki-laki yang membantunya beres-beres rumah orangtuanya lagi mandi. Di situlah Evert mulai berpikir, “Wah, sudah terjadi ini.” Evert saat itu menahan dirinya dan mengatakan bahwa mereka sedang ada masalah rumah tangga dan meminta laki-laki itu untuk tidak datang dulu ke rumah mereka. Evert takut dia bisa membunuh laki-laki tersebut.
Kebusukan itu akhirnya Evert bongkar di depan keluarga sang istri. Belum puas sampai di situ, Evert melakukan tindakan gila lainnya. Dia menginterogasi istrinya dan menanyakan berapa kali mereka melakukan hubungan terlarang itu. Istrinya mengatakan bahwa sudah tiga kali mereka berhubungan intim, tapi Evert tidak percaya. Meskipun tembok yang dipukul oleh Evert, namun istrinya menangis juga. Evert kemudian menyuruh istrinya agar menelepon laki-laki selingkuhannya tersebut, kalau tidak dia akan mati malam ini.
Malam itu juga, Debby menelepon dan meminta laki-laki selingkuhannya untuk datang karena ada suatu urusan yang ingin dibicarakan. Saat itu juga, Debby mengakui kesalahannya dan dia tidak mau mengulanginya lagi. Debby ingin agar semuanya berjalan lancar dan suaminya tidak marah-marah lagi, namun ditolak mentah-mentah oleh Evert.
Akhirnya laki-laki itu datang, Evert mengunci pintu rumahnya. Pertama-tama, dia bilang bahwa laki-laki itu seperti pagar makan tanaman. Dia juga menanyakan berapa kali mereka berhubungan intim. Ketika dijawab tiga kali, Evert tidak percaya. Laki-laki itu dipukul olehnya. Pukulan itu membuatnya tangannya sakit, sehingga dia pun menggunakan kaki dan lutut untuk menghajar perut laki-laki tersebut.
“Saya rencana mau bunuh dia sih, saya mau hajar pakai besi. Akhirnya, saya telepon adik saya itu. ‘Eh, lu mau liat ga nih, laki-laki yang tiduri bini gua…’ Adik saya suruh saya tahan di situ. Tak lama kemudian kakak saya telepon. ‘Siapa tuh, kunci dia di kamar, biar kita kuliti dia, kita potong-potong dia’. Kalau saya lepasin dia ke tangan kakak dan adik saya, matilah dia.”
Namun, ketika adik dan kakaknya datang, dia tidak membiarkan mereka masuk. Evert menyuruh agar lelaki itu tetap di dalam rumah dan tidak keluar rumah. Setelah itu, Avert meminta nomor telepon keluarga si laki-laki selingkuhan istrinya, namun dia tidak mau memberikannya. Alasannya, ”Bang, jangan. Ayah saya lagi sakit, nanti kalau dia denger yang begini dia bisa mati.”
“Aku tidak mau tau, kasih ga nomor keluarga lu…” tanya Evert kepada laki-laki itu.
Saat itulah adik Evert masuk. “Adik saya ke dapur dan mengambil pisau. Terus dia disamperin..” Dia menyorongkan pisau itu ke laki-laki tersebut dan meminta nomor telepon yang diminta. “Dari tadi kenapa…” katanya setelah memukul kepala laki-laki dengan menggunakan helm.
Akhirnya Evert menelepon keluarga laki-laki itu. Meskipun tidak bisa menghubungi ayahnya, akhirnya Evert berbicara dengan kakak perempuannya. Mereka datang ke rumah Evert. Evert juga memanggil RT setempat dan meminta laki-laki tersebut untuk tidak datang di sekitar rumah / RT tempat mereka tinggal. Perjanjian ini dibuat hitam di atas putih, jadi kalau masih berhubungan, Evert akan lapor polisi.
Setelah semuanya selesai, mereka pun pulang ke rumah. “Saya sudah tidak mikirin malu, saat itu sudah tidak ada malu di hati saya terhadap kondisi ini.” Sebaliknya, Debby sangat merasa malu atas kejadian tersebut.
Kejadian tersebut membuat Debby memutuskan untuk berpisah dengan suaminya. “Karena saya pikir, buat apa lagi saya pertahankan? Kan, saya sudah ketahuan selingkuh, saya sudah tidur dengan laki-laki lain.” Namun lain dengan yang ada di pikiran Evertlandus.
“Buat saya, tidak ada kata perceraian, semua masalah kita selesaikan bersama. Bahwa pernikahan saya buat sekali seumur hidup.” Perkataan Evert seperti itu, membuat istrinya begitu menyesal dan sedih sekali. Kenapa ya saya melakukan hal seperti itu, begitu kata hati Debby.
Memang Evert bisa menerima kejadian ini, namun tetap ada yang tersisa di hatinya. Hal ini membuat Debby ingin menjauh sebentar dan kembali ke rumah orangtuanya. Evert marah-marah, semua barang Debby dikeluarkan dan Debby disuruh pergi dari sana. Debby yang duduk di bawah lantai, hanya bisa menangis menerima lemparan barang-barang dari suaminya.
“Saya merasa puas kalau melihat dia menangis, saya puas kalau bisa menyakiti dia. Saya ingin dia merasakan sakit seperti saya. Saya memang tidak pernah pukul dia, kalau saya kesel banget, saya pukul tembok.” itulah perasaan Evert saat itu. Susah bagi Evert untuk menghapus luka batin yang dideritanya.
Evert mencoba berbagai cara. Ketika di tempat tidur, Evert memeluk istrinya, tapi ada perasaan tidak nyaman. “Tapi saya merasa jijik aja gitu, saya merasa kok bekas orang ya? Terkadang juga terbayang di pikiran saya bahwa dia tidur dengan laki-laki lain. Saya kok bisa seperti ini ya? Saya komplain dengan Tuhan.”
Selama 1 tahun itu Evert menyimpan rasa sakit di hatinya, meskipun sebagai seorang hamba Tuhan, susah baginya untuk mengampuni perselingkuhan sang istri. Apalagi ketika dia sedang mempersiapkan materi tentang pengampunan, terjadi pertentangan dalam batinnya. Dia sampai-sampai membenturkan kepalanya.
Kemudian ada suara dalam hatinya. “Saya tidak tuntut kamu sempurna kok…Kamu mau naik kelas.” Meskipun sangat menyadari hal itu, tapi Avert tetap saja menderita. “Iya, saya sakit lho. Saya nggak kuat menahan. Tuhan, saya bisa gila nih. Lebih baik saya mati aja deh. Saya berharap kepala saya pecah.”
Dengan segala keputusasaan, Evert tetap pergi ke acara tersebut. Di atas sepeda motor yang setia membawanya ke tempat tujuan, Evert terus bicara dengan Tuhan tentang apa yang harus dia khotbahkan. Dia meminta bisa mengampuni istrinya, agar tidak ada rasa sakit.
”Jadi, ketika saya berkhotbah, Tuhan mengingatkan jika ada orang yang menyakitinya, ampunilah dia, doakanlah dia, berkati dia, Tuhan ingatkan yang lebih mengena kepada saya adalah jika engkau memberikan persembahan kepada-Ku tapi punya masalah dengan saudaramu. Pulanglah, bereskan masalah itu terlebih dahulu.”
Selesai ibadah, Evert menemui sang istri. Evert berdoa dan mengatakan kepada istrinya bahwa dia mengampuni istrinya. Sejak saat itu, damai sejahtera ada pada keluarga mereka. Rumah tangga mereka dipulihkan.