Saya teringat ketika masih kuliah dulu. Saya memiliki teman beda jurusan yang memiliki keterbatan fisik karena tak dapat melihat. Selama mengikuti mata kuliah, hal yang dilakukannya adalah merekam semua penjelasan dosen. Saat ujian, beberapa temannya termasuk saya membacakan bahan mata kuliah yang ia ambil sambil direkam olehnya. Itulah beberapa cara yang ditempuhnya sampai akhirnya ia berhasil meraih gelar sarjana.
Namun seringkali perlakuan tak adil harus diterima mereka yang memiliki keterbatasan fisik. Padahal keterbatasn fisik seseorang sama sekali tidak mengurangi kecerdasan dan kapasitasnya. Kenyataan inilah yang mendorong Wuri Handayani berjuang membela hak kaum marjinal dan memprotes diskriminasi yang ada.
Wuri mulai dikenal masyarakat ketika Pemerintah Kota Surabaya menolak pendaftarannya sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS) akhir 2004 karena kondisinya yang berada di kursi roda. Wuri yang tak terima membawa kasus ini ke ranah hukum. Perjalanan panjang ditempuhnya sampai akhirnya Mahkamah Agung (MA) menerbitkan putusan pada Desember 2009 dengan mengabulkan gugatan Wuri. Namun putusan yang terulur empat tahun membuat Wuri tak bisa mengikuti proses perekrutan CPNS tahun 2010 karena batas usianya yang sudah melewati ketentuan yang berlaku. Namun keputusan ini telah menjadi yurisprudensi bagi kaum difabel lainnya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil.
Wuri sendiri bukan penderita cacat sejak lahir. Ia kehilangan kemampuan berjalan akibat jatuh dari jurang dalam kegiatan pecinta alam pada tahun 1993. Semenjak saat itu ia mengalami perlakuan yang berbeda. Para dosen di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga (Unair) bahkan mendorongnya untuk pindah jurusan namun teman-temannya terus mendukungnya agar ia melanjutkan kuliah. Wuri akhirnya pindah ke jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Unair pada tahun 1994.
Sebelum mendaftar CPNS, Wuri melamar sebagai pengajar di Fakultas Ekonomi Unair sampai enam kali. Dari pemimpin fakultas, ia mengetahui ketidaklulusannya sebagai calon pengajar bukan karena ketidakmampuan akademik, melainkan karena ia berkursi roda. Padahal, selama empat tahun Wuri kuliah tanpa terkendala masalah apapun. Untuk melawan diskriminasi dan mengadvokasi penyandang cacat atas haknya, ia mendirikan lembaga swadaya masyarakat D’Care atau Diffable (different ability) Care.
Secara resmi D’Care berdiri Februari 2006, tetapi gerakannya dimulai pada 2003. Lembaga itu tumbuh dari keresahan Wuri. LSM bidang hukum yang menjadi pendampingan untuk penyandang cacat nyaris tak ada. Kalaupun ada, fokusnya hanya pada pelatihan, stimulasi, dan pemberdayaan. Kebijakan D’Care bersama aktivis penyandang cacat terus memerhatikan berbagai aspek kehidupan para difabel. Ketika Pemprov dan DPRD Jatim menggodok Rancangan Peraturan Daerah tentang Pelayanan Publik, para aktivis ini tak ketinggalan. Satu pasal yang menyebutkan semua pelayanan publik harus menyediakan fasilitas yang bisa diakses penyandang cacat, manusia lanjut usia (manula), dan perempuan hamil berhasil dimasukkan pada Perda Jatim Nomor 11 Tahun 2005 itu.
D’Care bersama aktivis penyandang cacat juga mensurvei Bandara Juanda saat baru dibangun. Beberapa kekurangan, seperti pintu toilet khusus difabel yang sulit dibuka dan mozaik lantai yang tak membantu mengarahkan orang dengan kemampuan penglihatan rendah (low vision) disampaikan. Sayang, sampai saat ini belum ada perbaikan yang berarti.
Pemkot Surabaya menanggapi kritik pada trotoar kota yang awalnya setinggi 50-60 cm, tanpa bagian landai. Proyek pedestrian Kota Surabaya pada 2009-2010 sudah lebih manusiawi. Tingginya sekitar 20 cm dan ada bagian yang landai. Tak hanya kaum difabel yang menikmati fasilitas itu, warga lain pun lebih nyaman dan tak beresiko jatuh. Namun, seperti kata Wuri, diskriminasi terhadap difabel dan kaum marjinal lainnya masih banyak terjadi.
Anak tunanetra, kata Wuri, tak selalu memerlukan guru khusus. Cukup guru mengucapkan apa yang ditulis di papan tulis. Materi bisa diberikan dalam bentuk softcopy dan siswa mempelajarinya lewat komputer berprogram khusus. Maka, guru dan siswa lain perlu disiapkan dalam sekolah inklusi. Sekolah inklusi adalah pilihan yang baik ketimbang memasukkan siswa ke sekolah luar biasa (SLB). SLB cenderung berbau diskriminasi dan berkonotasi negatif.
Belum pahamnya masyarakat mengenai kapasitas, hak, dan kebutuhan difabel, tak jarang menimbulkan diskriminasi. Karena itulah Wuri terus berkeliling ke sejumlah daerah untuk mendampingi difabel lainnya. Apa yang dikerjakannya saat ni memang masih membutuhkan perjuangan yang panjang, namun Wuri tak kenal menyerah dan ia terus bergerak.
WURI HANDAYANI
Lahir: Kediri, 8 Desember 1972
Suami: Arifudin Anang Basuki
Pendidikan:
- Fakultas Farmasi Unair, 1992-1993 (tak tamat)
- Fakultas Ekonomi Unair, 1994-1998
- Magister Akuntansi Unair, 2002-2005
- S-2 untuk Disability and Social Policy School of Policy, University of Leeds, Inggris, 2007-2008
Pekerjaan antara lain:
- Staf khusus pengelola basis data Fakultas Kedokteran Unair, 1999-2003
- Dosen Jurusan Akuntansi Universitas Bhayangkara Surabaya, 2008-kini
- Konsultan keuangan PT Citra Prima Lestari • Organisasi antara lain:
- Direktur Eksekutif D'Care - Ketua Advokasi untuk Hak Buruh Perempuan dan Penyandang Cacat FSPMI Surabaya - Ketua Pusat Pemilihan Umum Akses (PPUA) Penyandang Cacat Jatim
Sumber : kompas