Tirto Utomo, Sang Inovatif Sejati Aqua

Entrepreneurship / 6 August 2010

Kalangan Sendiri

Tirto Utomo, Sang Inovatif Sejati Aqua

Lois Official Writer
7594

Dalam sebuah ruangan yang terdiri dari tiga lemari kayu, terpajang rapi berbagai produksi Aqua. Sebuah meja rapat bundar berukuran kecil dan meja kerja mengisi ruangan tersebut. Dari ruangan itulah Tirto Utomo mengawali lahirnya perusahaan Aqua pada tahun 1973 yang kini menjadi produsen air mineral terbesar di dunia. “Meja ini merupakan meja yang digunakan pendiri,” kata Willy Sidharta, Presiden Direktur PT. Aqua Golden Missisippi Tbk.

Sosok pendiri Aqua, Tirto Utomo dilahirkan di Wonosobo, Jawa Tengah 8 Maret 1930. Karena di Wonosobo tidak ada SMP maka Tirto Utomo harus bersekolah di Magelang yang berjarak sekitar 60 kilometer, perjalanan itu ditempuh dengan sepeda. Kehidupannya tergolong lumayan karena orangtuanya pengusaha susu sapi an pedagang ternak.

Lulus SMP Tirto Utomo melanjutkan sekolah ke HBS (sekolah setingkat SMA di zaman Hindia Belanda) di Semarang dan kemudian di Malang. Masa remaja Tirto Utomo dihabiskan di Malang dan di situlah dia bertemu dengan Lisa / Kienke (Kwee Gwat Kien). Seperti lazimnya sekolah Katholik pada waktu itu maka sekolah untuk murid laki-laki dan murid perempuan dipisah. Mereka berdua hanya sempat bertemu di lapangan sekolah.

Selama dua tahun kuliah di Universitas Gajah Mada yang ada di Surabaya, dia mengisi waktu luang dengan menjadi wartawan Jawa Pos dengan tugas khusus meliput berita-berita pengadilan. Namun, karena kuliah tidak menentu, akhirnya Tirto pindah ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Di Jakarta sambil kuliah ia bekerja sebagai Pimpinan Redaksi harian Sin Po dan majalah Pantja Warna.

Pada tahun 1954 selepas SMA di Malang, Lisa masuk Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Sambil kuliah, Lisa bekerja di British American Tobacco (BAT Indonesia). Maret 19555 Lisa gagal mengikuti ujian kenaikan tingkat dan kemudian memutuskan berhenti kuliah. Saat Lisa mengajar bahasa Inggris di Batu Ceper, menjadi guru SD Regina Pacis, dan menerima jasa penerjemahan dan pengetikan, Lisa dilamar Tirto dan mereka menikah pada 21 Desember 1957 di Malang.

Musibah datang pada tahun 1959. Tirto diberhentikan sebagai pemimpin redaksi Sin Po. Akibatnya sumber keuangan keluarga menjadi tidak jelas. Namun, akibat peristiwa itulah Tirto Utomo memiliki kemauan yang bulat untuk menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum UI. Sementara Lisa berperan sebagai pencari nafkah yaitu dengan mengajar dan membuka usaha catering, Tirto belajar dan juga ikut membantu istrinya. Pada Oktober 1960 Tirto Utomo berhak menyandang gelar Sarjana Hukum.

Setelah lulus, Tirto Utomo melamar ke Permina (Perusahaan Minyak Nasional) yang merupakan cikal bakal Pertamina. Setelah diterima, ia ditempatkan di Pangkalan Brandan. Di sana, keperluan mandi masih menggunakan air sungai. Berkat ketekunannya, Tirto Utomo akhirnya menanjak karirnya sehingga diberi kepercayaan sebagai ujung tombak pemasaran minyak.

Kedudukan Tirto Utomo sebagai Deputy Head Legal dan Foreign Marketing membuat sebagian besar hidupnya berada di luar negeri. Pada usia 48 tahun, Tirto Utomo memilih pensiun dini untuk menangani beberapa perusahaan pribadinya yakni AQUA, PT. Baja Putih, dan restoran Oasis.

Aqua didirikan dengan modal bersama adik iparnya Slamet Utomo sebesar Rp 150 juta. Mereka mendirikan pabrik di Bekasi tahun 1973 dengan nama PT. Golden Mississippi dan merek produksi Aqua. Karyawan mula-mula berjumlah 38 orang. Mereka menggali sumur di pabrik pertama yang dibangun di atas tanah seluas 7.110 meter persegi di Bekasi. Setelah bekerja keras lebih dari setahun, produk pertama Aqua diluncurkan pada 1 Oktober 1974.

Bagaimana nama Aqua ini terbentuk? Desainer Singapura yang merancang logonya mengusulkan nama Aqua. Kata Eulindra Lim, sang desainer tersebut, Aqua mudah diucapkan dan mudah diingat selain bermakna ‘air’. Aqua sebenarnya bukan nama asing baginya. Dia sendiri sering memakai nama samaran ‘A Kwa’ yang bunyinya mirip dengan ‘Aqua’ semasa masih menjadi pemimpin redaksi harian Sin Po dan majalah Pantja Warna di akhir tahun 1950. Nama A Kwa sendiri diambil dari nama aslinya yaitu Kwa Sien Biauw sedangkan nama Tirto Utomo mulai dipakainya pertengahan tahun 1960-an yang tidak sengaja diambil yang berarti ‘air yang utama’.

“Dulu bukan main sulitnya. Dikasih saja orang tidak mau. ‘Untuk apa minum air mentah’, itulah celaan yang tak jarang kami terima,” ujar Willy Sidharta. Saat itu minuman rignan berkabonasi seperti Cola Cola, Sprite, 7 Up, dan Green Spot sedang naik daun sehingga gagasan menjual air putih tanpa warna dan rasa, bisa dianggap sebagai gagasan gila.

Hingga 1978 penjualan Aqua tersendat-sendat. Tidak heran bila Tirto Utomo sendiri mengakui hampir menutup perusahaannya karena sekitar lima tahun berdiri tetapi titik impas belum juga dapat diraih. Ia tidak tahan harus menombok terus menerus. Tetapi selalu ada rezeki bagi orang yang ulet dan tabah. Tirto Utomo bersama manajemennya akhirnya mengeluarkan jurus pamungkas dengan menaikkan harga jual hampir tiga kali lipat.

Waktu itu ide ini bisa dibilang juga bisa dibilang ide gila. Masa, ketika dalam kesulitan keuangan, bukannya menurunkan harga agar para pelanggan berminat tapi malah menaikkan harga. Tirto sendiri sudah menyiapkan antisipasi sekiranya upaya itu bakal menyebabkan penurunan omset. Namun, pasar bicara lain. Omset bukannya menurun malahan terdongkrak naik. Agaknya orang menilai harga tinggi sama dengan mutu tinggi. Aqua pun mulai melayani segmen yang tertarik untuk berlangganan.

Salah satu pelanggannya yaitu kontraktor pembangunan jalan tol Jagorawi, Hyundai. Dari para insinyur Korea Selatan itu, kebiasaan minum air mineral pun menular kepada rekan kerja pribumi mereka. Melalui penularan semacam itulah akhirnya air minum dalam kemaasan diterima di masyarakat.

Penampilan Tirto sehari-hari sangat sederhana, ramah, murah senyum, namun cerdas berpikir. Dalam hubungannya dengan bawahan, ia menganut gaya manajemen kekeluargaan dan mempercayai kemampuan karyawannya melalui sejumlah pengembangan dan pelatihan manajemen.

Willy juga merupakan salah satu ujung tombak di Aqua. Misalnya dalam soal kemasan. Pada waktu itu biaya pengemasan dapat mencapai 65% dari biaya produksi. Melihat itu, Tirto Utomo kemudian menyetujui ide Willy untuk menggabungkan pabrik botol dengan bisnis air mineralnya yang bernama PT. Tirta Graha Parama.

Saat ini, keluarga Tirto Utomo bukan lagi pemegang saham mayoritas karena sejak tahun 1996 perusahaan makanan asal Prancis Danone menguasai saham mayoritas, sedangkan saham keluarga ‘tinggal’ 26 persen. Meskipun demikian, Willy Sidharta, yang merupakan anak kandung dari Tirto Utomo sendiri, memegang jabatan direktur dalam perusahaan tersebut.

Pilihan bergabung dengan perusahaan multinasional diakui membuat langkah Aqua semakin lincah. Ketatnya persaingan industri air mineral menuntut upaya-upaya agresif. Sejak itu, terjadi perubahan besar dalam manajemen Aqua. Dalam produksi, Aqua juga melonjak tajam, dari 1 miliar liter sekarang mencapai 3.5 miliar liter. Aqua menguasai 40% pangsa pasar air mineral di dalam negeri.

Willy menegaskan bahwa pemanfaatan sumber air oleh Aqua selalu diawali oleh penelitian secara sosial maupun lingkungan. “Masyarakat sering beranggapan jika pemanfaatan sumber air secara komersial seolah-olah menghabiskan air. Justru kita menjaga dan menambah debit sumber air,” katanya menambahkan.

Salah satu kata-kata Tirto Utomo yang terkenal adalah “Banyak orang mengira bahwa memproduksi air kemasan adalah hal yang mudah. Mereka pikir yang dilakukan hanyalah memasukkan air kran ke dalam botol. Sebetulnya, tantangannya adalah membuat air yang terbaik, mengemasnya dalam botol yang baik dan menyampaikannya ke konsumen.” Tirto Utomo memang sudah wafat pada tahun 1994 namun prestasi Aqua sebagai produsen air minum dengan merek tunggal terbesar di dunia tetap dipertahankan sampai sekarang.

Sumber : berbagai sumber/lh3
Halaman :
1

Ikuti Kami