Handoko, Lepas dari Belenggu Kepahitan Terhadap Papanya

Family / 27 May 2010

Kalangan Sendiri

Handoko, Lepas dari Belenggu Kepahitan Terhadap Papanya

Daniel Official Writer
6819

Sejak kecil, Handoko harus melihat berbagai perlakuan kasar dari papanya terhadap mamanya hanya karena urusan sepele.

“Kalau papa makan, dia selalu minta diladeni. Jika ada sesuatu yang ketinggalan seperti air minum belum diisi, dia langsung gebrak meja dan ngomel-ngomel. Kalau papa marah, pasti pukul mama sambil berkata kasar, ‘Dasar perempuan bego, kenapa airnya belum diisi? Dasar tolol mending gua kawin lagi, cari bini lagi yang lebih pintar dari lu. Lebih baik lu jadi pelacur saja,’” ungkap Handoko di awal kesaksiannya.

Suatu hari papanya sedang ambil sepatu. Karena sepatunya belum disemir, papanya marah dan memukul mamanya dengan sepatu itu. Hal seperti ini sering terjadi, namun Handoko hanya diam dan melihat saja karena dia juga tidak bisa membela mamanya. Sampai suatu saat tanpa Handoko sadari ketika dia pulang dari sekolah dan ingin makan, tiba-tiba papanya muncul dan bertanya dia dari mana.

“Saya bilang habis pulang main sama temen. Pada saat itu papa marah dan berkata, ‘Lebih baik gua kasih makan anjing daripada ngasih makan lu.’ Sempat mama juga mau bela saya dan mama dipukul. Saat itu, saya merasakan sakit sekali dalam hati saya,” ungkap Handoko.

Bukan hanya itu, suatu hari, di rumah tidak ada air dan papanya bertanya kepada Handoko kenapa belum ambil air. Tetapi tanpa menunggu jawaban, papanya langsung memukul Handoko dengan kayu yang biasa dipakai untuk pikulan air.

“Begitu kejam saya dipukul seperti memukul binatang. Tidak dihargai sama sekali, apa saja pasti kena dipukul, di kepala, di kaki,” ungkapnya.

Ketika mamanya ingin membantu Handoko, papanya justru memukul sehingga waktu itu mamanya tidak bisa berbuat apa-apa. Baru setelah selesai Handoko dipukuli, mamanya mendekat dan menyuruh Handoko untuk cepat pergi mencari air. Handoko pun segera pergi meskipun dalam keadaan pincang karena kakinya terasa sakit.

“Akhirnya saya berhenti di rumah orang, saya rasakan sakit yang luar biasa dan saya sempat menangis. Cuma kekerasan, cacian, hinaan dan pukulan yang saya rasakan setiap hari. Saya tidak pernah dapatkan figur seorang bapak yang baik di saat saya membutuhkan,” katanya.

Peristiwa itu begitu membekas dalam hati Handoko sehingga dia menyimpan luka yang sangat mendalam. Handoko memiliki sebuah dendam yang luar biasa, pada suatu saat dia ingin bunuh papanya. Saat dia beranjak dewasa, kebencian Handoko pun memuncak. Suatu malam, dia pulang agak larut malam dan mamanya membukakan pintu untuknya. Ketika papanya melihat hal itu, papanya pukul mamanya menggunakan senter, sekenanya di kepala dan badannya. Handoko mencoba membela mamanya namun papanya tidak berhenti memukul. Handoko pun marah dan berlari ke dapur untuk mengambil pisau.

“Dia dorong papa, papa jatuh ke tempat duduk. Dia bilang, ‘Saya bunuh papa, lebih baik papa mati, saya ga punya papa.’ Saya sama mama menjerit, saya bilang, ‘ Jangan Han, itu papa kita,’” kisah kakak Handoko, Susilowati.

“Biar jahat bagaimanapun, itu bapakmu. Saya ga boleh,” tambah mama Handoko, Ibu Liana.

Kekejaman papanya seolah tak pernah berhenti, bahkan saat dia dewasa sebuah kenyataan pahit harus dia terima.

“Saya ikut cicik saya ibadah, papa saya mengetahui semuanya itu dan papa saya marah-marah. Lantas saya diusir. Pada waktu itu papa belum mengenal Tuhan. Baju saya dibuang dan bilang, ‘Lu keluar dari rumah ini, lu ga usah tidur di sini, ga usah makan di sini,” ungkap Handoko.

Akhirnya Handoko pun keluar dari rumah karena pikirnya di rumah pun dia tidak merasakan enak, yang ada cuma cacian makian, buat apa dia di rumah, di luar bisa lebih bebas. Tetapi malam itu Handoko tidak tahu kemana dia akan melangkah, ia pun menjalani hidupnya dengan tujuan yang tidak pasti. Handoko harus tidur di emperan rumah orang.

“Waktu saya diusir, saya minta makan sama mama saya melalui dapur. Beberapa hari itu tidak ketahuan dan akhirnya ketahuan sama papa, mama dipukul,” kenangnya.

Akhirnya dengan berat hati, Handoko mengambil keputusan untuk kembali lagi ke rumah. Namun tidak sampai di situ, sang kakak  pun tidak luput dari perlakuan kasar sang papa.

“Waktu itu papa buang diary saya, sempat saya mau dorong papa. Saya pikir kalau saya tetap tinggal sama orang tua, ga ada damai di hati saya. Saya putuskan saya pergi dulu dari rumah, saya ngontrak. Papa sempat bilang, ‘O, kamu mau bebas, kamu ngontrak itu mau bebas. Pergi, entah kamu mau jadi perempuan ga bener, entah jadi gelandangan.’ Saya hanya diam saja, cuma saya bilang mama, ‘Ma, saya ngontrak bukannya mau cari kebebasan tetapi saya menghindari kebencian saya terhadap papa,” ungkap Susilowati, kakak Handoko.

Tak lama berselang Handoko pun mengikuti jejak kakaknya, ia meninggalkan Jakarta dan bekerja di Banyuwangi, Jawa Timur. Namun Handoko masih membawa dan menyimpan dendam serta bayang-bayang kekerasan dari sang ayah. Pada suatu hari ketika Handoko sedang menyuci pakaiannya, seseorang menyuruh temannya untuk menebang pohon pisang.

“Saya bilang jangan, nanti biar saya saja yang tebang karena kamu ga tahu tetapi orang itu malah berkata, ‘terusin, saya bela sampai ke sorga.’ Akhirnya pohon pisang ini menimpa jemuran saya dan jemuran itu patah. Saya marah dan mengambil celurit lalu saya ingin membunuh dia. Celurit itu sudah sempat menempel di lehernya. Saya bilang, ‘ Coba kamu ngomong lagi, saya bela sampai ke sorga, putus kepala kamu.’ Karena dia sudah tidak berani ngomong akhirnya saya pukul dia dan dia minta maaf,” kenang Handoko mengingat peristiwa tersebut.

Waktu ternyata tidak menyembuhkan dirinya bahkan setelah empat tahun lamanya dendam itu tetap membara, apalagi ketika dia menerima surat yang mengingatkannya pada masa lalunya yang kelam.

“Saya di Banyuwangi, papa saya kirim sebuah surat yang memberi tahu bahwa dia sedang sakit. Saya tidak mau pulang, saya sudah tidak mau membalas sampai beberapa kali sampai dia bilang, ‘Lu, anak keluar dari batu, anak kurang ajar, anak tidak tahu diri,’ begitu ditulis di suratnya itu. Tetapi saya tidak mau tahu, biar saja kalau mau mati, mati saja,” ungkapnya.

Namun hatinya pun luluh, saat kerabatnya mengabarkan bahwa ayahnya sekarat. Handoko akhirnya pulang dan menemui keluarganya. Namun setelah kedatangannya, tak lama berselang ayahnya dipanggil yang maha kuasa. Setelah pemakaman papanya, Handoko berpikir bahwa semuanya sudah selesai mengenai sakit hatinya dan dendamnya kepada papa.

“Ternyata saya merasakan itu belum selesai setelah ada teman saya yang mengajak saya ke satu ibadah. Pada saat itu, pembicara itu mengundang mereka yang sakit hati, yang mengalami kepahitan sama orang tua supaya maju ke depan. Dan saya maju ke depan. Namun saat didoakan, saya tidak dapat mengampuni. Saya melihat seperti film yang diputar mengenai kehidupan saya, masa lalu saya. Peristiwa dicaci, dimaki, dipukuli, dihina, dikatai ‘lebih baik gua ngasih makan anjing dari pada ngasih makan lu.’ Itu sangat menyakitkan. Saat itu saya tidak bisa melupakannya. Tetapi pada waktu itu saya dipaksa untuk mengampuni. Saya tersungkur, dan teriak-teriak bahwa saya tidak akan mengampuni, saya tetap tidak bisa,” kata Handoko.

Pada saat itu, ada satu bapak tinggi besar datang dan memeluk Handoko dan mengatakan bahwa dia berharga dimata Tuhan dan Tuhan mengasihinya.

“Saat itu seperti Tuhan sendiri yang memeluk tubuh saya dan ada rasa kehangatan di dalam pelukan itu. Saat itu pembina saya membimbing supaya saya menyebutkan nama papa saya dan mengampuni dia. Pada saat saya mengatakan, ‘Papa, saya mengampuni papa, apa yang papa buat selama ini terhadap saya, saya mengampuni papa.’ Disitu saya rasakan ada satu pelukan kasih sayang yang luar biasa seperti Tuhan sendiri yang memeluk saya dan hati saya benar-benar merasa plong, semua masalah itu memang sudah hilang.”

Kini Handoko telah dipulihkan dari kepahitan yang selama ini membelenggu jiwanya.

“Saya mengucap syukur kepada Tuhan Yesus. Ketika Tuhan memulihkan hidup saya dan saya mau belajar mempraktekkan apa arti kasih dan pengampunan itu dalam hidup saya. Dengan mengampuni, saya mendapatkan kasih, sukacita, dan damai sejahtera dari Tuhan Yesus. Dan itu yang sudah saya rasakan sekarang. Kalau saya tidak mengampuni, pasti saya menyimpan kepahitan itu mungkin sampai saya mati, saya tidak tahu seperti apa hidup saya. Tapi setelah saya mengampuni, sukacita saya dapatkan karena pengampunan itu benar-benar yang membebaskan hidup saya dan kasih Tuhan itu berlaku bagi orang-orang yang mengampuni.” (Kisah ini sudah ditayangkan 27 Mei 2010 dalam acara Solusi Life di O Channel).

Sumber Kesaksian :

Handoko

Sumber : V100525143650
Halaman :
1

Ikuti Kami