Mengampuni Kakak Kandung Yang Telah Menghamilinya

Family / 28 April 2010

Kalangan Sendiri

Mengampuni Kakak Kandung Yang Telah Menghamilinya

Daniel Official Writer
50963

Ketika Melda sedang tidur, tiba-tiba kakaknya masuk ke dalam kamarnya dan mencoba untuk memperkosanya. Melda berusaha lari untuk menghindar namun kakaknya berhasil menahannya kemudian menyeretnya ke dalam kamar dan memperkosanya.

“Jadi ketika saya muntah, mama saya ingin lihat tetapi saya langsung tutup pintu kamar mandi. Jadi mama saya semakin curiga kemudian mereka memutuskan untuk membawa saya ke dokter kandungan,” kata Melda mengawali kesaksiannya.

Di ruang tunggu dokter kandung tersebut, jantung Melda berdetak cepat dan merasa tidak tenang. Dalam hati Melda tanya-tanya apakah dia sakit tumor, maag, tipesnya kambuh atau dia hamil? Waktu pun terhenti sejenak ketika dia dipanggil menuju ruangan dokter. Sebuah kenyataan pahit akan terbongkar, Melda diberi tahu bahwa dia hamil.

“Ketika saya tahu, saya hamil, saya shock sekali. Saya memaksa dokter untuk menggugurkan kandungan saya. Karena saya pikir, saya wanita yang tidak berharga, apa yang harus saya lakukan. Udah saya mati saja, tidak apa-apa,” ungkap Melda.

Tetapi dokter menolak keinginan Melda. Penolakan dokter itu seakan menghancurkan harapan Melda, identitas sang ayah bayipun mulai dipertanyakan.

“Jadi saya tidak mau terbuka sampai dokter marah. Akhirnya saya berani mengaku di hadapan dokter dan mama saya bahwa yang memperkosa saya adalah kakak kandung saya sendiri. Mama sangat depresi sekali mendengar hal tersebut. Kenapa bisa terjadi seperti ini, kenapa kamu tidak bilang dari pertama, kamu bodoh sekali, kata mama saya. Tetapi saya tidak bisa bicara saya hanya bisa menangis saja,” kisah Melda.

Selama lebih dari dua tahun, Melda yang masih SMA berkali-kali dipaksa melayani nafsu bejat kakak kandungnya sendiri.

“Waktu pertama kali kakak saya merenggut keperawanan saya, saya merasa pengharapan saya sudah hilang, masa depan saya sudah suram, apa yang bisa saya harapkan lagi dengan keadaan yang seperti ini,” ungkapnya.

Penderitaan seakan mengalir dalam darah Melda. Sejak kecil dia sering mendapat perlakuan keji dari kakak maupun papanya. Kakaknya sering memukulnya dengan keras, begitu juga dengan papanya

“Saya sangat membenci papa saya, papa saya itu jahat. Marahnya berlebihan terhadap saya, bisa main pukul, tendang bahkan waktu kecil saya pernah diangkat, jadi kepala di bawah, kaki di atas dan diselamkan dalam bak mandi. Yang sering saya pertanyakan, kenapa saya mempunyai papa, mama dan kakak seperti ini, tidak nyaman sekali saya berada di keluarga saya,” ungkap Melda mengenang masa kecilnya.

Kemudian dengan berat hati, Melda harus membuka aibnya di depan papanya. Papanya langsung shock, menangis dan berdiam diri. Papanya malah menuduhnya telah membuat malu keluarga karena Melda tidak menceritakan kejadian tersebut dari awal. Melda hanya bisa mengatakan bahwa dia tidak berani buka mulut karena takut dan diancam akan dibunuh oleh kakaknnya.

Berharap penyesalan dari sang kakak, justru sang kakak malah menyerang Melda dan ingin membunuh Melda dan bayinya. Penderitaan Melda belum berakhir, oleh orang tuanya sendiri Melda dibuang dan diasingkan.

“Mereka tidak mau menerima saya dan anak yang saya kandung. Saya juga stress di situ, saya tidak dijinkan keluar, dikurung di rumah supaya orang-orang tidak tahu. Tertekan, marah, depresi. Saya tidak tahu sekarang tujuan hidup saya mau kemana,” kata Melda mengenang saat-saat itu.

Aib ini seakan tidak bisa dihilangkan, janin yang tak bersalah pun dijadikan tempat pelampiasan kekecewaannya.

“Saya berpikir saya ingin mengugurkan dia, harus dengan cara apa saja yag penting dia keluar dari kandungan saya. Saya katakan dia anak haram, saya ingin dia gugur. Saya benar-benar menolak dia dan tidak mengakui dia,”ungkapnya.

Namun tak ada tanda bahwa bayi itu akan gugur,  cacian dan tetesan air mata Melda tidak sedikit pun mengubah masa depannya yang suram.

“Saya juga sering bertanya kepada diri saya, kenapa harus saya yang mengalami ini. Sekolah tidak selesai, orang tua menolak saya. Saya merasa tidak ada orang yang bisa mengerti saya dalam keadaan seperti ini, malah yang ada mereka mengorek-orek masalah saya,” kata Melda.

Namun di saat orang-orang yang dia harapkan menolaknya, masih ada satu orang pengurus asrama yang peduli dengan Melda.

“Malah setiap hari, setiap malam dia tumpang tangan berdoa buat saya dan anak saya. Kata ibu Susan, anak ini tidak bersalah seandainya dia tahu dilahirkan dalam keadaan seperti ini, dia bisa ngomong aku tidak ingin dilahirkan dalam keadaan seperti ini. Jadi anak ini tidak salah, mengapa kamu mengutukinya,” kata Melda.

Perkataan itu seakan-akan menyadarkannya, perlahan-lahan Melda belajar menerima kehadiran bayi itu. Saat dia menatap darah dagingnya sendiri, hatinya mulai tersentuh.

“Dia tidak seperti yang orang-orang katakan bahwa dia akan lahir cacat. Di situ saya mengucapkan terima kasih kepada Tuhan. Meskipun saya dulu benci sama dia tetapi setelah melihat dia saya sayang. Di situ saya nangis dan bilang bahwa saya tidak akan memberikannya kepada orang, anak ini tidak salah, yang salah adalah saya. Jadi tidak seharusnya dia yang menjadi korbannya,” ungkap Melda sambil menangis terharu.

Lewat sebuah sekolah pembinaan, melda berusaha melupakan masa lalunya yang kelam.

“Akhirnya saya dibentuk di situ, benar-benar diproses. Saya pengakuan dosa untuk kata-kata kutuk yang saya keluarkan untuk anak saya, saya benci dengan keluarga saya. Kemudian saya didoakan, ketika itu saya mendapatkan pengelihatan suatu warna putih polos. Di situ saya merasakan kelegaan, saya sudah lepas. Pembinbing mengatakan, warna putih polos itu tandanya Tuhan sudah kuduskan kamu, Tuhan sudah pulihkan kamu. Kamu berharga meskipun keluargamu menolak kamu, mereka tidak menerima kamu, mereka membuang kamu tetapi Tuhan tidak. Saya merasakan sekali ketika saya mengharapkan pengampunan dari Tuhan, akhirnya Tuhan mengampuni saya, saya benar-benar sudah diampuni,”ungkapnya.

Walaupun tidak mudah, Melda mengambil keputusan penting untuk mengampuni orang-orang yang telah melukai hatinya.

“Meskipun saya jauh dari papa mama, saya ingin komunikasi kita tetap lancer. Kakak saya ngomong kepada saya, ‘Yang sudah berlalu biarlah berlalu, ga usah diingat-ingat lagi. Saya bilang juga, ’Aku juga bersyukur jika kamu sudah mengakui kesalahanmu.’ Tidak ada lagi kepahitan, rasa benci dan unek-unek atau rasa benci. Saya sangat senagng bisa berhubungan lagi dengang keluarga saya, kapan saya bisa berhubungan, berkomunikasi dengan keluarga saya,” ungkap Melda.

Segala sakit hati dan kekecewaan yang Melda pendam selama bertahun-tahun kini telah berganti menjadi ucapan syukur.

“Saya melihat hidup saya benar-benar berharga meskipun dunia memandang saya sudah tidak berharga lagi, sudah hilang keperawanan. Tetapi, benar-benar, saya di hadapan Tuhan benar-benar berharga. Tuhan untuk saya pribadi, Dia sebagai penolong saya, Dia yang telah selamatkan saya dari kekacauan hidup saya dan Tuhan mengangkat saya. Tuhan mengakui saya sebagai anak-Nya dan saya pasti berharga, istimewa di hadapan Tuhan,” kata Melda mengakhiri kesaksiannya. (Kisah ini ditayangkan 28 April 2010 dalam acara Solusi Life di O'Channel).

Sumber Kesaksian:

Melda

Sumber : V100401154344
Halaman :
1

Ikuti Kami