Generasi Perceraian Bangkit?

Internasional / 2 June 2009

Kalangan Sendiri

Generasi Perceraian Bangkit?

Lestari99 Official Writer
4721

Adalah sebuah hal yang umum kita temukan saat ini dalam statistik yang terus berulang - satu dari dua pernikahan di Amerika akan berakhir dengan perceraian - bahkan dalam lingkungan gereja hal ini pun sudah terjadi. Fenomena ini bagaikan awan gelap yang menggantung di seantero negeri. Namun sebuah kenyataan yang cukup mengganggu adalah seluruh generasidi Amerika bertumbuh dalam suatu budaya yang secara statistik menunjukkan, perceraian adalah sebuah hal yang biasa sebagaimana pernikahan itu sendiri.

Baru-baru ini David Jefferson menulis sebuah artikel di Newsweek berjudul "The Divorce Generation Grows Up" (Bangkitnya Generasi Perceraian), dan ia menceritakan kisah SMU Grant angkatan 1982. "Dalam generasi orangtua kami, pernikahan masih menjadi kekuatan sosial yang begitu mengikat. Namun dalam generasi kami, kekuatan itu telah berubah menjadi perceraian. Kami mengalami metamoforsis perceraian, dari sesuatu yang begitu mengejutkan, bahkan memalukan menjadi sebuah fakta rutin dalam kehidupan masyarakat Amerika."

Sesungguhnya, tidak ada hukum perceraian mutlak yang telah ditetapkan selama hampir 40 tahun - meninggalkan kehidupan yang berantakan sebagai akibatnya.

Angka statistik begitu mengejutkan: Setiap tahun "1 juta anak-anak melihat orangtua mereka berpisah, dan angkanya meningkat tiga kali lipat di tahun 50-an. Mereka memiliki resiko dua kali lebih besar untuk bercerai dengan pasangannya dan lebih besar lagi resikonya untuk mengalami gangguan kesehatan mental. Dan anak-anak yang tinggal di rumah dengan orangtua tunggal, seperti yang telah kita lihat dalam persekutuan penjara anak-anak, mereka memiliki resiko lebih tinggi untuk terjun dalam dunia kriminal.

Anak-anak juga mengalami beban emosi yang berat padahal mereka belum siap untuk menerimannya. "Saya baru berusia 15 tahun, baru masuk SMU, ketika saya harus menjadi konselor dalam krisis hubungan kedua orangtua saya," ujar Chris, teman Jefferson. Dan Jefferson menulis kisah Chris, "Saya terus berusaha menjagai ayah saya agar ia tidak sampai hancur secara emosional, tidak menyakiti dirinya sendiri dan menguburkan dirinya dalam kungkungan depresi," tulis Jefferson dalam konteks pendekatannya sebagai profesional maupun kehidupan pribadinya.

Banyak dari teman sekelas Jefferson yang juga mengalami perceraian; beberapa memilih untuk menghindar dari pernikahan. Tapi beberapa lainnya memiliki reaksi yang berbeda. "Dalam banyak hal, desakan untuk mempertahankan pernikahan lebih kuat dalam generasi angkatan saya dibandingkan desakan untuk bercerai pada orangtua saya." Memahami rasa sakit yang diakibatkan perceraian membuat banyak orang yang kebih muda mempertahankan agar pernikahannya tetap utuh.

Satu-satunya hal yang menghibur Jefferson bagi para pembaca tulisannya di Newsweek adalah bahwa perceraian yang dialami orangtua mereka "mungkin adalah hal terbaik' dan mungkin saja mereka dapat menemukan "penerimaan bagi orangtua mereka atas jalan hidup yang mereka pilih."

Tetapi Kristine Steakley, penulis dari buku yang berjudul Child of Divorce, Child of God (Anak Perceraian, Anak Tuhan) dan seorang blogger The Point, baru-baru ini menulis, "Tuhan menawarkan  kepada kita jalan keluar yang lebih baik. Dia tidak memberikan kepada kita penerimaan; Dia memberikan kepada kita penebusan... Firman-Nya tidak berkata, "Sebagaimana keadaan itu sudah terjadi, sebaiknya terbiasalah dengan hal itu'. Namun, firman-Nya berkata bahwa dunia yang kita tempati saat ini memang sudah rusak dan satu-satunya harapan yang kita miliki adalah penebusan yang Dia tawarkan.

Dan inilah pesan yang harus disampaikan gereja kepada Generasi Perceraian ini. Kehancuran yang diakibatkan oleh perceraian sudah sangat gamblang terlihat. Sakit yang ditimbulkannya nyata. Itulah sebabnya Tuhan berkata, "Aku membenci perceraian." Tapi Dia juga adalah Tuhan yang membuat segala sesuatunya baru, yang menyatukan kembali kepingan-kepingan hati yang telah rusak.

Jika kita menginginkan generasi mendatang yang memandang pernikahan bukan sebagai sebuah hubungan yang sembarangan, tapi sebagai tanda kekekalan akan kasih dan rahmat Tuhan, maka gereja memiliki beberapa tugas yang harus dilakukan. Gereja harus menyuarakan  kesucian pernikahan dalam kehidupan berjemaat dan berbudaya. Gereja harus menjangkau suami dan istri yang sedang bergumul akan hal ini. Dan gereja perlu memperlihatkan kepada dunia yang terluka ini akan sukacita sejati dan berkat yang melimpah dari pernikahan kudus.

Mari berdoa bagi bangsa ini yang telah menjadi panutan bagi seluruh negara-negara di dunia akan nilai-nilai hidup yang mereka anut. Hal ini memang sudah terjadi di Amerika dan kita perlu berdoa untuk itu. Tapi bukankah di Indonesia sendiri gaya hidup kawin-cerai sepertinya mulai menjadi hal yang biasa juga? Ditambah dengan gencarnya pemberitaan media massa dan televisi akan perceraian para publik figur yang menjadi idola masayarakat banyak. Banyak hal yang harus dilakukan gereja Tuhan di bangsa ini untuk mengembalikan otoritas Tuhan atas pernikahan yang kudus dan yang berkenan kepada Allah.

Sumber : cbn.com / LEP
Halaman :
1

Ikuti Kami