Problematika Pemilih Hantu di Jakarta

Nasional / 24 March 2009

Kalangan Sendiri

Problematika Pemilih Hantu di Jakarta

Lestari99 Official Writer
4303

Pilkada DKI Jakarta adalah rekor dimana jumlah partai pendukung salah satu pasangan, yaitu Fauzi Bowo-Prijanto yang mencapai 20 partai politik. Inilah fenomena baru dalam dunia perpolitikan dan berhak dianugerahi rekor Museum Rekor Indonesia (Muri) karena dua puluh partai politik melawan satu partai politik.

Namun pilkada DKI Jakarta juga merupakan salah satu bukti serta contoh yang tidak baik dari perilaku penyelenggara pilkada, yaitu Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta saat itu, khususnya pada aspek pendaftaran pemilih. Hasil audit beberapa lembaga pemantau seperti LP3ES dan NDI menunjukan sekitar 20 persen dari pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) merupakan ‘pemilih hantu' (pemilih fiktif). Di sisi lain sekitar 20 persen penduduk Jakarta yang berhak memilih ternyata tidak terdaftar dalam DPT yang dibuat penyelenggara pilkada.

Persoalan DPT dalam Pilkada DKI yang dilaksanakan bulan Agustus 2007 saaat itu telah menjadi isu besar. Persoalan pendataan pemilih di Pilkada DKI mulai panas ketika tahapan pilkada sudah memasuki fase pemutakhiran Daftar Pemilih Sementara (DPS) menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT). Sesuai tahapan pilkada DKI, perbaikan DPS Pilkada DKI berakhir pada 13 Juni 2007. Artinya, setelah 13 Juni, pendaftaran pemilih sudah tertutup sebab KPUD DKI segera memverifikasi DPS menjadi DPT dan menetapkan DPT pada tanggal 19 Juni 2007.

Isu inilah yang kemudian mendorong salah satu lembaga pengawas untuk pilkada DKI, yaitu Pilkada Watch (PW) saat itu melaporkan KPUD DKI Jakarta ke Polda Metro Jaya atas dugaan tidak transparannya pilkada. Dalam laporannya, Pilkada Watch (PW) menuduh KPUD DKI telah melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan. KPUD hanya memberi perpanjangan pendaftaran tambahan dua hari, hal itu sangat tidak mencukupi.

Lembaga pengawas menemukan banyak kejanggalan pada DPT. Beberapa indikasinya adalah adanya nama calon dengan alamat domisili yang sama, duplikasi tanggal lahir dan domisili tempat dari pemilih yang tidak jelas. Bahkan, ada beberapa nama yang sudah meninggal namun masih tercantum sebagai pemilih. Dengan kata lain masih banyak pemilih gelap, ada ghost voters (pemilih hantu) yang ikut mencoblos di beberapa TPS. Di beberapa tempat ditemukan banyak nama dobel dalam daftar DPT. Di satu TPS di Matraman, satu orang terdaftar dengan lima nama, kejadian serupa juga ditemukan di wilayah Pengadegan, Utan Kayu, dan di Jakarta Barat.

Banyak bukti juga ditemukan di lapangan saat pencoblosan, di TPS 14 Kelurahan Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat, 23 orang yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), ternyata bisa ikut mencoblos.

Ada pula di TPS 03 Setia Budi, Jaksel, seorang pemilih, diduga kuat mengunakan kartu pemilih ghost voters, pasalnya, nama yang tertera di kartu pemilih berbeda dengan nama aslinya yang tertera di KTP. Di salah satu TPS di Cipinang Muara, seorang pemilih mengaku namanya menghilang dalam daftar DPT, sehingga tidak bisa ikut memberikan suaranya.

Hal ini juga diamini oleh koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR), Jerry Sumampouw, dari pemantauan seribu relawan JPRR di wilayah DKI, ditemukan pelanggaran saat pencoblosan. Ada warga yang tidak tercantum dalam DPT dan hanya memakai KTP bisa mencoblos. Di TPS 103 Penjaringan, Jakarta Utara, panitia KPPS memberikan izin kepada warga yang hanya memiliki KTP untuk mencoblos.

Adakah komentar tokoh-tokoh negara ini yang menentang perilaku ketidakprofesionalan KPUD DKI saat itu? Hampir semuanya bungkam melihat ketidakberesan yang telah dibuat KPUD saat itu, termasuk juga panwaslu DKI saat itu. Semua petinggi partai diam menyaksikan skenario itu, mereka justru menikmati kecurangan politik ini. Termasuk gubernur berkuasa saat itu juga enggan menanggapi isu pemilih siluman ini.

Tapi apa yang kita lihat sekarang ini menjelang Pemilu 9 April mendatang, begitu banyak tokoh nasional berkomentar tentang isu pemilih siluman di DPT pilkada Jawa Timur, termasuk mantan gubernur DKI pun berkomentar.

Mereka semuanya sepertinya sepakat untuk mengangkat isu DPT pilkada Jawa Timur sebagai sarana untuk memundurkan pemilu 2009. Memang ketika kebanyakan orang menikmati hasil jerih payah dari kejahatan politik sepertinya pelanggaran pun patut untuk dibiarkan, karena dampaknya tidak ia rasakan. Tetapi ketika pelanggaran itu menimpa dirinya maka beramai-ramailah berteriak tentang ketidakadilan tanpa merasa dulu juga mereka pernah melakukannya pada yang lain. Politik standar ganda inilah yang semestinya diketahui oleh masyarakat bahwa hal ini telah menjadi awal dari sebuah kebohongan partai politik yang dipertontonkan secara kasat mata kepada publik.

Dan sebagai anak Tuhan, tidak ada hal lain yang dapat kita lakukan selain terus memperjuangkan bangsa kita di hadapan Tuhan sampai saat itu tiba, ketika seorang yang takut akan Tuhan dan memperjuangkan nilai-nilai kebenaran maju dan menjadi pemimpin atas bangsa ini. Perbanyak doa Anda dan pertajam hati nurani Anda agar tidak salah memilih karena masa depan bangsa ini ada di tangan kita.

Sumber : inilah.com
Halaman :
1

Ikuti Kami